Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah berupaya mengantisipasi keputusan Uni Eropa (UE) yang mengeluarkan sawit dari daftar energi terbarukan. Artinya UE akan menolak menggunakan bahan baku yang berasal dari sawit. Hal ini akan berdampak pada 16,2 juta orang Indonesia yang hidupnya tergantung dari kelapa sawit. Untuk itu, pemerintah tengah berupaya meningkatkan konsumsi biodiesel domestik.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan) Kasdi Subagiyono mengatakan, negara akan hadir untuk melindungi 16,2 juta penduduk yang terancang akibat kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) UE yang melarang sawit sebagai biodiesel.
"Dalam menghadapi ini, kita juga harus memperhatikan kesinambungan hubungan antar negara kita dimana kita sudah punya UE Indonesia Comprehensive Economic Patnership Agreement (CEPA), karena itu, masalah ini kita angkat ke ranah WTO saja,"ujarnya saat membuka International Labour on Palm Oil Conference yang diselenggarakan Media Perkebunan, Jumat (26/4).
Lebih lanjut, ia mengatakan, ketentuan dalam RED II yang memasukkan sawit sebagai tanaman yang sangat berisiko terhadap lingkungan sudah diundangkan sehingga tidak bisa diapa-apakan lagi.
“Kita bisa saja bermain keras dengan langsung stop ekspor, pasti akan banyak pabrik di Eropa yang bangkrut. Tetapi kita melakukan pendekatan persuasif yang lebih baik,” kata Kasdi.
Ia melanjutkan berdasarkan informasi dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) masih ada jalan keluar terkait hal ini. Ia bilang, UE masih ingin mengajak berbicara Indonesia. Ia mengambil contoh seperti negara Belanda masih ragu-ragu terhadap kebijakan RED II ini. Karena itu, Belanda mengajak membuat tim bersama dengan Indonesia untuk membahas lebih jauh.
Sambil meneruskan negosiasi dengan UE, upaya peningkatan penggunaan biodiesel dalam negeri juga terus dilakukan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah menetapkan B30 dan sudah berjalan sedang di Kemtan sudah B-100.
Menurut Kasdi, pesan dari B-100 ini adalah bukan Indonesia tidak ekspor sawit, tetapi Indonesia mampu menyerap sebanyak mungkin. “Kalau kita mau hal ini pasti sudah membuat Eropa galau,” terangnya.
Selain itu, pemerintah juga memaksimalkan pengelolaan industri hulu dan hilir kelapa sawit. Bila industri hilir kelapa sawit diperbesar, maka akan menyerap banyak tenaga kerja.
Sementara, untuk standar sawit sustainable Indonesia sudah memiliki ISPO yang di-ilhami dari RSPO. Kalau ada pihak lain yang mengklaim pihak lain bahwa sawit Indonesia tidak sustainable maka ini tidak benar.
“Itu hanya narasi jebakan saja. Kita memang pernah melakukan konversi hutan seperti hal nya Eropa juga melakukannya. Dalam lima tahun terakhir menurut data KLHK kita sudah tidak ada lagi pelepasan kawasan hutan sehingga salah kalau sawit dikatakan membuka hutan,” katanya.
Menurut Kasdi, program ISPO akan disangkutkan dengan SDGs (Sutainable Development Goal) sehingga bicara sawit akan berkaitan dengan pengentasan kemiskinan dan lingkungan. Dalam perspektif ketenagakerjaan ISPO sangat memperhatikan kepentingan pekerja karena ada prinsip K3 harus diterapkan, ada kesehatan dan peningkatan kemampuan pekerja dan lain-lain. Ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pekerja sawit.
Kepala Pusat Pelatihan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Bustanul Arifin menambahkan, untuk profesi di perkebunan kelapa sawit sudah ada Standar Kompetensi Kerja Nasional sedangkan budidaya menyusul.
Saat ini 3.480 sertifikat yang dikeluarkan, masih terlalu sedikit dibanding pekerja sawit. “SKKN ini sangat penting karena disesuaikan dengan kebutuhan industri. Jumlahnya masih sedikit buka kesempatan perusahaan perkebunan melakukan pelatihan menggunakan modul-modul SKKN ini sehingga lebih banyak lagi pekerja yang bersertifikat kompetensi,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News