Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
JAKARTA. Ekspor keramik belum maksimal. Dari total omzet keramik 2013 yang sebesar Rp 30 triliun, penjualan ekspor hanya menyumbang 15% atau Rp 4,5 triliun. Salah satu strategi mendongkrak industri ini adalah dengan menerapkan standar wajib.
Kementerian Perindustrian (Kemperin) mengakui ada empat kendala di industri keramik. Pertama, pasokan gas tak optimal. "Pasokan gas sebagai bahan baku produksi belum optimal sementara kurs dollar AS fluktuatif," ujar MS Hidayat, Menteri Perindustrian, Jumat (17/4).
Kedua, keterbatasan teknologi. Ketiga, keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Keempat, kendala pemasaran dan kapasitas produksi yang stagnan dalam lima tahun terakhir.
Karena kondisi ini, Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengaku kesulitan menembus pasar ekspor yang sudah sesak pemain. "Kami harus bisa membuat produk yang bisa diterima pasar," ujar Elisa Sinaga, Ketua Asaki. Adapun tujuan ekspor yakni ke Asia Pasifik, Asia Tenggara, dan Australia.
Padahal, tahun ini, Kemperin menargetkan kontribusi ekspor keramik menjadi 35% terhadap total penjualan 2014. Jika tahun ini Kemperin menargetkan omzet keramik nasional Rp 34 triliun, berarti target penjualan ekspor adalah Rp 11,9 triliun.
Secara volume produksi, Kemperin menargetkan total produksi keramik tahun 2014 tembus 430 juta meter persegi (m²)–450 juta m². Jika dibandingkan dengan 2013, berarti pemerintah berharap ada pertumbuhan 4,88%–9,76%
Demi menjawab kendala dan mengejar target, pemerintah akan memberlakukan standar nasional Indonesia (SNI) produk keramik kelas premium yang terkena pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). "Cukup banyak produk keramik tak ber-SNI yang beredar di pasar," ujar Harjanto, Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemperin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News