Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan proyek hilirisasi batubara dalam bentuk Dimetyl Ether (DME) sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG) tidak akan bergantung pada pihak asing, menurut beberapa ahli hal ini masih akan sulit dilakukan.
Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengatakan teknologi DME yang masih belum dimiliki sepenuhnya di dalam negeri, membuat Indonesia perlu mengundang perusahaan asing yang telah memiliki teknologi gasifikasi tersebut.
"Kita tidak punya teknologinya. Jadi kalau Pak Bahlil mengatakan tidak akan bergantung pada modal asing. Modalnya mungkin bisa didanai dari Danantara, tapi teknologi kita belum punya," ungkap Ketua Perhapi, Sudirman Widhy kepada Kontan, Minggu (09/03).
Baca Juga: DME sebagai Pengganti LPG: Solusi Energi atau Beban Fiskal?
Sudirman juga mengatakan, jika melihat pada gagalnya kerjasama Air Products & Chemical Inc (APCI), perusahaan Amerika Serikat (AS) dengan PT Bukit Asam (PTBA) dan PT Pertamina (Persero) terkait proyek DME pada 2023 lalu, pemerintah perlu mendorong ekosistem investasi yang baik.
"Air Product memilih mundur dari rencana ini dengan berbagai pertimbangan diantaranya iklim investasi di Indonesia yang mereka anggap tidak menarik dibandingkan di negara lain," kata dia.
Hal senada juga diungkap oleh Ketua Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Tambang PII), Rizal Kasli.
Menurutnya, ketidakmampuan ini disebabkan oleh pemerintah yang belum fokus pada pemberian biaya penelitian dan pengembangan atau Research and Development (RnD) kepada lembaga-lembaga penelitian di Indonesia.
"Lembaga penelitian kita belum mampu menghasilkan teknologi ini (DME). Hal ini bisa dimaklumi karena Indonesia sangat minim mengalokasikan anggarannya untuk R&D, bahkan salah satu yang terkecil secara global," jelasnya.
Lebih detail Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan ketiadaan bukan hanya soal teknologi, namun juga soal modal Indonesia untuk mengembangkan 4 proyek DME senilai US$ 11 miliar.
"Sulit, kalau hanya mengandalkan modal dalam negeri. Meskipun katanya mau teknologi saja (kerjasama dengan asing) beli teknologinya juga akan mahal sekali, karena tidak semua negara punya," kata dia.
Sedangkan juga memaksakan pengembangan teknologi DME dalam negeri, maka akan membutuhkan waktu yang lama, yang berpengaruh pada target hilirisasi batubara itu sendiri.
"Tapi kalau mau dikembangkan sendiri pasti akan makan waktu. Itu pilihan, mana yang akan dipilih pemerintah," tutupnya.
Asal tahu saja, hilirisasi dalam bentuk DME ini awalnya diharapkan dapat melepas ketergantungan Indonesia terhadap impor LPG yang masih berada di angka 70%.
Bahlil dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI pada Senin (26/8) memprediksi konsumsi LPG dalam negeri sepanjang tahun ini mencapai 8 juta ton. Sedangkan Indonesia baru bisa memproduksi LPG sebanyak 1,8 juta ton.
Dan untuk memenuhi pasokan tersebut, Indonesia harus mengimpor sekitar 6 juta ton LPG per tahun senilai US$ 3,45 miliar atau setara dengan Rp 54,73 triliun.
Baca Juga: Proyek DME Menggerus Pemasukan Negara
Selanjutnya: Ingin Anak Lebih Menghargai Keuangan? Ini Saran dari Warren Buffett
Menarik Dibaca: 7 Menu Buka Puasa yang Aman untuk Asam Urat, Yuk Dicoba!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News