kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Keterlibatan multi-stakeholders dalam pembuatan regulasi kunci IHT hadapi new normal


Selasa, 23 Juni 2020 / 19:59 WIB
Keterlibatan multi-stakeholders dalam pembuatan regulasi kunci IHT hadapi new normal
ILUSTRASI. Pekerja memproduksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) secara manual di pabrik rokok PT Praoe Lajar yang menempati bekas kantor perusahaan listrik swasta Belanda NV Maintz & Co, di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Senin (19/8/2019). Kementerian Per


Reporter: Agung Hidayat | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki era kenormalan baru, bagi sektor industri padat karya seperti Industri Hasil Tembakau (IHT), momentum ini perlu disikapi dengan penuh kehati-hatian.

Karena, belakangan sektor ini tengah digempur dengan berbagai kebijakan yang restriktif, di mana salah satu yang paling memberatkan adalah mandat terkait IHT dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM memfasilitasi forum untuk mengkaji arah kenormalan baru bagi regulasi IHT dalam seri webinar Bincang Komoditas Perdagangan Indonesia. Agenda ini dihadiri oleh berbagai pengambil kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan IHT di Indonesia.

Baca Juga: Kenaikan cukai dan pandemi surutkan serapan tenaga kerja di industri hasil tembakau

Maharani Hapsari Co Chair-holder UGM-WTO Chair Program menuturkan, sektor IHT kerap menjadi entitas yang harus menerima aturan-aturan restriktif dengan peluang yang sangat minim untuk dapat mengajukan keringanan.

Hal ini terjadi karena dalam proses pembuatan kebijakan untuk IHT, ada banyak prosedur yang tidak transparan sehingga berpotensi pada praktik pelanggaran, antara lain: (1) kurangnya transparansi informasi kepada seluruh pihak yang terlibat dan berkepentingan; (2) ketiadaan proses partisipatif.

“Dalam hal ini, para pelaku IHT tidak mendapat transparansi ketika membahas poin-poin restriksi. Faktanya, sampai saat ini, belum benar-benar ada kata mufakat di antara stakeholders yang berkepentingan, seperti BPOM, Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, komunitas rantai pasok IHT, dan Kementerian Perindustrian,” tutur Maharani dalam keterangan tertulis, Selasa (23/6).

Posisi dan klaim yang saling berseberangan antara pemangku kepentingan dinilai sangat menghambat terbentuknya kebijakan yang inklusif bagi kelangsungan industri. Dampaknya, hasil kebijakan bisa sangat bias dan menimbulkan favoritism terhadap kelompok tertentu.

Seringnya, argumen dasar kebijakan kontrol IHT bersumber dari adopsi norma internasional tanpa konteks lokal. Padahal, jika mengacu pada standar prosedur perumusan kebijakan publik, harus ada tiga dimensi yang dipenuhi yakni transparansi, partisipasi dan dukungan bukti.

Ketiga dimensi ini mewakili prinsip keterbukaan yang harapannya bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak ketika aturan tersebut disahkan.

Maharani juga menyampaikan, di tengah berbagai himpitan yang menimpa IHT, pemerintah harus mulai proaktif dalam mendengarkan banyak suara dari berbagai pihak. Terlebih di momen kenormalan baru pemerintah perlu mempercepat proses pemulihan industri untuk menopang ekonomi nasional.

RPJMN 2020-2024 yang disahkan pada Februari lalu juga dinilai mengandung banyak klausul yang kontraproduktif terhadap pengembangan IHT. Di bidang non-fiskal, RPJMN mengamanatkan revisi Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 yang menekankan pada perluasan gambar kesehatan hingga 90%, melarang iklan dan promosi rokok, dan mengetatkan peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Di bidang fiskal, restriksi tercermin pada adanya agenda penyederhanaan struktur tarif CHT dan peningkatan tarif CHT yang diprediksi bakal menurunkan pangsa pasar tembakau hingga 15%.

Merespon temuan di atas, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menuturkan pihaknya telah memprediksi akan ada penurunan signifikan akibat merosotnya penjualan rokok di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai.

Baca Juga: Kebijakan rokok murah berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 2,6 triliun

“Pada tahun 2020 ini, estimasi penerimaan negara dari cukai akan sama dengan tahun 2019 atau sekitar Rp 165 triliun, sementara penurunan volume produksi dari IHT justru akan turun 13-23%. Saat ini di tengah kenormalan baru, GAPPRI berharap pemerintah tidak akan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang justru menghambat recovery industry seperti kenaikan cukai, simplifikasi struktur cukai, dan revisi PP 109/2012," katanya.

Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto yang turut hadir dalam diskusi menyatakan keberatan terkait poin restriksi dalam RPJMN 2020-2024. Klaim bahwa pengenaan cukai bisa menurunkan prevalensi perokok anak dan konsumsi makanan yang berisiko kesehatan dianggap tidak tepat sasaran.

“Hendaknya pemerintah tidak melihat isu kesehatan secara sempit. Justru yang harus dikuatkan adalah peningkatan pengawasan dan penegakan disiplin atas distribusi dan akses masyarakat terhadap produknya. Perbanyak edukasi, sosialisasi ke tingkat akar rumput agar konsumen paham bahwa produk tembakau hanya bisa dikonsumsi orang dewasa," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×