kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Komisi VII targetkan pembahasan RUU energi terbarukan kelar tahun ini


Selasa, 29 Januari 2019 / 08:52 WIB
Komisi VII targetkan pembahasan RUU energi terbarukan kelar tahun ini


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menargetkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) bisa selesai pada tahun ini. Saat ini, Komisi VII tengah menampung masukan dari sejumlah kalangan untuk menanggapi draft RUU yang telah dibuat.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Tamsil Linrung mengatakan, RUU ini merupakan inisiatif DPR. Sehingga, DPR harus terlebih dulu menyelesaikan pembahasan dna menetapkan RUU, lalu menyerahkan kepada pemerintah untuk ditanggapi. Tamsil bilang, pembahasan di DPR akan rampung pada tahun ini. Apabila pemerintah bisa menanggapi dengan cepat, kata Tamsil, RUU ini bisa diundangkan pada tahun depan.

"Tahun ini kita dorong tuntas pembahasannya di DPR. Jika pemerintah memberikan respon yang cepat, tahun depan diharapkan bisa diundangkan," kata Tamsil selepas memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), pada Senin (28/1).

Tamsil mengungkapkan, pihaknya terus mengkaji substansi dari RUU ini dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) terkait, termasuk dengan lembaga pendidikan. Senin (28/1) kemarin, Komisi VII telah menggelar RDPU dengan lembaga kajian energi dari sejumlah perguruan tinggi, yakni dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Diponegoro (Undip), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS).

Dalam forum tersebut, salah satu masukan datang dari Pusat Studi Energi (PSE) UGM. Kepala PSE UGM Deendarlianto menyoroti soal pasar dan investasi EBT di Indonesia. Menurutnya, perlu ada kebijakan insentif untuk mengakselerasi terciptanya penawaran dan permintaan (supply and demand).

"Posisi EBT Indonesia supply masih sedang, demand masih rendah," katanya.

Insentif ini penting untuk menjembatani antara keinginan produsen listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) yang ingin memastikan tingkat pengembalian investasi karena biaya pembangunan yang mahal, namun di sisi lain, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menginginkan tarif pembangkit EBT yang murah.

Sementara menurut Bagian Hukum Energi PSE UGM Irene Handika, untuk mendorong inevstasi dan pengembangan pasar EBT, perlu dijamin kepastian berusaha yakni pembagian resiko yang seimbang. Termasuk juga soal penguasaan negara apakah hanya terhadap sumber daya, atau kah juga infrastrukturnya, misalnya dalam skema penyerahan aset ketika kontrak berakhir atau Build, Own, Operate, and Transfer (BOOT) yang dikeluhkan pelaku usaha.

Lebih lanjut, Widodo Wahyu Purwanto dari Pengkajian Energi UI menekankan perlunya keselarasan antara UU EBT dengan undang-undang lain yang terkait seperti dengan UU Energi Nomor 30 Tahun 2017, UU Minerba, UU Migas, dan UU Ketenagalistrikan, termasuk dengan peraturan lainnya seperti UU transportasi. Selain itu, Widodo juga mengatakan bahwa nilai Keekonomian harus mencerminkan resiko pengusahaan yang meliputi kapasitas (scale), lokasi (remoteness), jenis teknologi.

Ia bilang, harga energi pun harus mencerminkan kualitas energi dengan mempertimbangkan manfaat lingkungan dan eksternalitas energi fosil. "Selain itu RUU EBT ini belum terlihat secara jelas perlunya shifting aau realokasi dari subsidi fosil ke ET," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×