Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Seperti diketahui, di akhir tahun ini pemerintah memberlakukan tariff adjustment. Pada periode Oktober-Desember 2020, tujuh golongan pelanggan tegangan rendah PLN menikmati penurunan tarif. Mulai Oktober- Desember 2020, tarif listrik untuk pelanggan golongan rendah yang sebelumnya Rp 1.467 per kWh turun Rp 22,5 per kWh menjadi Rp 1.444,70 per kWh.
Pemberlakuan tariff adjustment tersebut terlihat mendapatkan dukungan dari Kementerian Keuangan (Keuangan). Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Ubaidi Socheh Hamidi mengatakan, penerapan kebijakan subsidi tepat sasaran memang seharusnya diikuti dengan penerapan tariff adjustment untuk golongan non-subsidi.
Kebijakan tariff adjusment yang ditahan sejak tahun 2017 justru memberikan risiko fiskal. "Yaitu muncul beban kompensasi, yang dari tahun ke tahun secara kumulatif cukup memberikan tekanan terhadap APBN," kata Ubaidi.
Baca Juga: Pembatasan izin penyediaan listrik dinilai belum efektif menyelesiakan masalah di PLN
Dia memaparkan, dalam kurun waktu 2017-2019, total kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah mencapai sekitar Rp 55 triliun. "Kalau kita melhat subsidi listrik dan kompensasi, kalau di total sudah mencapai sekitar Rp 200,5 triliun," sambung dia.
Ubaidi menjelaskan, kebijakan subsidi tepat sasaran juga akan dilanjutkan dengan pemadanan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) pada golongan pelanggan subsidi 450 VA. Jika dipadukan dengan pemberlakuan tariff adjustment, maka potensi penghematan anggaran negara bisa mencapai Rp 18,01 triliun.
Meski begitu, penerapan tariff adjustment diperkirakan menimbulkan dampak inflasi dengan potensi 0,138%. "Apabila kemudian tariff adjustment tidak diterapkan, maka implikasinya memang pada peningkatan pemberian kompensasi, membebani fiskal," pungkas Ubaidi.
Selanjutnya: Ini masalah-masalah yang dihadapi PLN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News