Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah menjaga stabilisasi harga beras tampaknya setengah hati. Pasalnya, pemerintah tidak maksimal dalam menjalankan perannya untuk menstabilisasi harga beras. Bahkan pemerintah dinilai tidak mengeluarkan ongkos untuk menjaga stabilisasi harga beras.
Ekonom Senior Universitas Indonesia, Faisal Basri mengatakan, sebenarnya pergerakan harga beras domestik dan internasional seiring. Namun harga beras di Indonesia lebih tinggi dengan jarak yang sangat lebar dibandingkan Thailand dan Vietnam karena biaya produksi yang mahal. Kemudian terjadi juga disparitas di middle market di rantai distribusi beras di dalam negeri.
Bagi Faisal stabilisasi harga beras adalah misi ekonomi dan sosial pemerintah. Tapi Perum Bulog dalam melaksanakan tugasnya untuk stabilisasi harga justru menggunakan pinjaman komersial.
Karena itu, Faisal menyayangkan pemerintah tidak sedikitpun memberikan subsidi untuk stabilisasi harga yang harusnya ada ongkosnya di ABPN. Faisal menambahkan, selama ini peran Bulog hanya ke hulu, padahal seharusnya Bulog juga masuk ke hilir untuk mengimbangi agar Bulog tidak rugi.
Baca Juga: Ini penjelasan Kemendag soal beda tugas dengan Badan Pangan Nasional
"Kita harus konsisten apakah Bulog lembaga stabilisasi, jika lembaga stabilisasi seharusnya dia kasih ongkos stabilisasi. Kemudian berlakukan harga itu sebagai internal pemerintah untuk early warning system melakukan tindakan," sarannya dalam webinar dengan topik: Efektivitas HET Beras yang diselengarakan Pataka, Kamis (26/8).
Dalam webinar yang sama, peneliti Indef Rusli Abdullah mengatakan, Harga Eceran Tertinggi (HET) sebagaimana diamanatkan dalam Permendag No.24 nomor 24 tahun 2020 tentang penetapan harga pembelian untuk gabah atau beras atas perubahan permendag 57/2017 tentang penetapan harga eceran tertinggi/HET beras, tercapai seperti pupuk jadi pemerintah subsidi kepada petani.
Ia bilang, HET hanya melindungi konsumen tetapi petani dibiarkan loss. Buktinya adanya margin yang besar oleh pedagang beras, justru petani hanya menerima harga stagnan. Jadi petani tidak bisa menikmati fluktuasi harga yang terjadi di pasar. Hal ini disebabkan oleh rantai logistik.
Kemudian posisi tawar petani yang memang lemah. Jadi problem ini sudah puluhan tahun terjadi di Indonesia. Jadi tidak ada penyelesaian waktu yang benar-benar yang menggenjot daya tawar petani dan skala ekonomi petani kecil.
Baca Juga: Jokowi resmi bentuk Badan Pangan Nasional, ini tugasnya
Sementara, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) menyampaikan konsep stabilisasi sebelum tahun 2015 peranan Bulog masih begitu besar, menjaga harga pada saat produksi berlebih pengadaan dalam negeri menggunakan Inpres untuk stok gabah untuk operasi pasar dan disalurkan melalui raskin dalam rangka stabilisasi harga konsumen.
Namun mulai tahun 2015 Raskin dikurangi BPNT mulai dikurangi sehingga peranan Bulog semakin mengecil.
Pengadaan dalam negeri Bulog rata-rata bisa mencapai 2,2 juta ton jika dirata-ratakan selama 10 tahun. Namun sebelum tahun 2015 cenderung pengadaan lebih tinggi kemudian impor dilakukan ratarata kira-kira 732 ribu ton. Kemudian stok bervariasi sampai 1 juta ton.
"Kemudian terdapat selisih harga antara beras premium dengan beras medium di lain pihak perbedaan secara teknis tidak terlalu signifikan," ujarnya.
Selanjutnya: Sulitnya salurkan bantuan beras, dari perahu tenggelam hingga sewa pesawat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News