kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kuota produksi batubara dipotong, Isran Noor: Presiden Jokowi langsung telepon Jonan


Kamis, 28 Maret 2019 / 20:32 WIB
Kuota produksi batubara dipotong, Isran Noor: Presiden Jokowi langsung telepon Jonan


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemotongan kuota produksi batubara kepada para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) provinsi berbuntut protes dari kepala daerah yang perekonomianya didominasi oleh komoditas emas hitam tersebut. Salah satunya datang dari Kalimantan Timur (Kaltim).

Gubernur Kaltim Isran Noor mengatakan, dirinya telah mengirimkan surat resmi dan berbicara langsung dengan Presiden Joko Widodo supaya pembatasan produksi tersebut bisa dicabut. Isran mengirimkan surat tersebut pada Selasa (26/3) dan menyampaikan secara lisan kepada Presiden pada hari ini, Kamis (28/3).

Isran bilang, Presiden pun langsung memberikan responnya dengan menelfon Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan untuk membahas persoalan ini. "Saya sudah minta ke Pak Presiden untuk membatalkan sanksi itu. Dua hari yang lalu kirim surat, tadi saya bicara pada Presiden, beliau juga telpon Pak Jonan," kata Isran saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (28/3).

Isran beralasan, komoditas batubara sangat dominan dalam menopang perekonomian Kaltim. Sehingga ketika produksinya dipangkas drastis, maka akan memberikan dampak negatif pada kondisi sosial-ekonomi di Kaltim.

Sebagai informasi, seperti yang pernah diberitakan Kontan.co.id sebelumnya, kuota produksi batubara IUP provinsi pada tahun 2019 ini merosot sekitar 50% dari realisasi produksi tahun lalu. Penurunan itu terjadi di 10 provinsi yang merupakan produsen utama batubara Indonesia.

Kementerian ESDM memangkas separuh produksi IUP daerah sebagai konsekuensi dari pemenuhan wajib pasok dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) yang tak sesuai target.

IUP daerah tersebut tersebar di 10 provinsi, yakni di Jambi, Sumatera Selatan (Sumsel), Bengkulu, Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Selatan (Kalsel), Aceh, Riau, Kalimantan Utara (Kaltara), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Sumatera Barat (Sumbar). Dari 10 provinsi itu, Kaltim dan Kalsel tercatat sebagai provinsi dengan produksi terbesar.

Rencana produksi IUP di Kaltim pada tahun lalu merupakan yang paling tinggi, dengan 103,47 juta ton. Namun, realisasi produksinya hanya mencapai 69,64 juta ton. Adapun, realisasi DMO batubara Kaltim pada tahun lalu haya 8,32 juta ton. Padahal, kewajiban pasok DMO yang disyaratkan pemerintah adalah 25% dari produksi.

Dengan itu, IUP di Kaltim pun terkena sanksi, dimana kuota produksi batubara untuk Kaltim hanya diberikan sebesar 33,28 juta ton. Merosot lebih dari separuh dibanding realisasi produksi tahun lalu.

Menurut Isran, apabila kuota produksi batubara bagi IUP di Kaltim hanya dibatasi di angka itu, dampaknya akan sangat negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kaltim. Isran bilang, dalam perhitungan yang telah dilakukannya bersama Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi di Kaltim bisa terkoreksi sebesar 2,8% jika sanksi pembatasan tersebut itu dicabut. "Sangat besar dampaknya, saya hitung bersama dengan pihak BI, pertumbuhan ekonomi jadi turun hampir minus 2,8%," ujar Isran.

Bahkan, Isran menghitung ada sekitar 15.000 tenaga kerja yang terancam pekerjaannya jika produksi ditahan pada level tersebut. Ia pun menekankan, pembatasan kuota produksi ini bisa berimbas pada devisa negara, karena ekspor batubara menjadi salah satu andalan utama untuk mengeruk devisa. "Jadi dampaknya luar biasa, terhadap tenaag kerja, devisa dan pertumbuhan ekonomi. Belum lagi bicara (daerah lain) Kalsel, Sumsel dan Jambi," terangnya.

Isran menolak jika kuota produksi ini dibenturkan dengan masalah lingkungan. Sebab, IUP Provinsi yang menggelar produksi tersebut telah mengantongi perizinan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), sehingga telah memperhitungkan dimensi lingkungan dalam melakukan produksi batubara. "Kan mereka sudah mendapatka izin, diarahkan sesuai Amdal, jadi nggak ada kaitannya dengan lingkungan," katanya.

Isran juga memprotes jika sanksi yang dijatuhkan terhadap IUP di provinsi yang dipimpinnya itu hanya dinilai berdasarkan pemenuhan DMO tahun lalu. Sebab, Isran menilai pasokan DMO sepanjang tahun 2018 tidak ada kekurangan, khususnya untuk mencukupi kebutuhan kelistrikan.

Apalagi, lanjut Isran, tidak terpenuhinya seluruh kewajiban DMO tidak serta merta karena kesalahan perusahaan. Sebab, itu juga menyangkut kontrak yang telah dilakukan, serta spesifikasi batubara yang diproduksi dan yang dibutuhkan pasar dalam negeri.

"Mereka (IUP) juga mengalami kesulitan, karena dalam produksi 2018 tidak ada permintaan (kontrak) DMO, dan spesifikasi yang berbeda untuk pasar dalam negeri, jadi untuk ekspor," terangnya.

Bukan Hanya Faktor Perusahaan

Hal tersebut pun diamini oleh Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia. Yakni, tidak terpenuhinya DMO ini bisa disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti ketidak cocokan kualitas batubara, persoalan kontrak, harga batubara, hingga kapasitas armada angkutan yang tidak sesuai dengan pelabuhan bongkar.

Menurut Singgih, pemotongan kuota produksi ini mengundang permasalahan bagi IUP. Sebab, pemegang IUP CnC (Clear and Clean), terutama yang akan masuk ke tahap produksi telah mengeluarkan investasi yang tak sedikit untuk coal proceesing plat (CPP) dan infrastruktur lainnya.

Singgih menilai, idealnya penetapan kuota ini bukan pada tahun berjalan, namun pada dua hinga tiga tahun ke depan. "Sehingga oleh IUP dapat memproyeksikan besaran investasi yang akan ditetapkan," ungkapnya.

Sementara, menurut Hendra Sinadia, protes yang dilakukan oleh Pemprov Kaltim adalah hal yang wajar. Sekali pun demikian, Hendra menilai bahwa jika dilihat dari sisi regulasi dan pengendalian produksi, langkah yang dilakukan pemerintah cukup berdasar.

Hanya saja, lanjut Hendra, basis realisasi pemenuhan DMO yang menjadi dasar pemotongan kuota produksi, masih dipertanyakan oleh pelaku usaha yang terkena sanksi tersebut. Hendra mengingatkan, pada tahun ini pun pelaku usaha akan menghadapi masalah pemenuhan DMO yang serupa dari tahun lalu. "Kan balik lagi ke masalah pemenuhan DMO (tak sepenuhnya faktor perusahaan), tahun ini juga akan sama seperti itu," ujarnya.

Sedangkan, menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, pihaknya telah memberikan sejumlah pertimbangan dalam menjatuhkan sanksi bagi perusahaan tidak memenuhi DMO sesuai ketentuan. Setidaknya ada empat pertimbangan yang disebutkan Bambang.

Pertama, terkait dengan target penerimaan bukan pajak berupa iuran produksi dari subeektor mineral dan batubara. Kedua, menjaga iklim investasi, terutama bagi perusahaan yang telah melakukan investasi dalam jumlah yang cukup besar.

Ketiga, ketergantungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari batubara. Keempat, mempertimbangkan potensi pengurangan tenaga kerja lokal serta dana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

Namun, Bambang mengatakan bahwa kuota produksi IUP provinsi tersebut bisa direvisi. Bambang bilang, apabila dalam evaluasi di Semester I rasio pemenuhan DMO sudah mencukupi, maka IUP daerah pun dimungkinkan untuk mengajukan tambahan kuota produksi.

Sehingga, Bambang pun tak keberatan jika ada pemerintah provinsi yang mengajukan protes atas keputusan pemangkasan kuota produksi tersebut. "Ya biarin saja (mengajukan protes), nanti tinggal nunggu disposisi. Kalau Juni kan (pengajuan revisi RKAB), itu hal yang biasa," ungkap Bambang kepada Kontan.co.id, Kamis (28/3).

Sebagai informasi, pada tahun lalu rencana produksi batubara IUP di 10 provinsi tersebut mencapai 285,01 juta ton. Sedangkan realisasi produksi sepanjang tahun lalu sebesar 211,27 juta ton.

Adapun, realisasi DMO hanya sebesar 24,15 juta ton atau hanya mencapai 70,6% dari yang ditargetkan. Pada tahun ini IUP dari 10 provinsi trsebut mengusulkan produksi sebesar 282,99 juta ton, namun kuota yang disetujui hanya sebesar 105, 79 juta ton.

Berbanding terbalik, pada tahun ini perusahaan-perusahaan batubara raksasa pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) mendapatkan kenaikan kuota produksi dibandingkan realiasi pada tahun lalu, dimana sepanjang tahun 2018,PKP2B memproduksi sebesar 295,66 juta ton.

Sementara, kuota produksi yang diberikan pada tahun ini sebesar 324,89 juta ton. Alasannya, capaian DMO dari pemegang PKP2B nyaris memenuhi target. Sepanjang tahun lalu, realisasi DMO dari PKP2B mencapai 74,85 juta ton atau 99,8% dari yang ditargetkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×