Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mencatat lonjakan pungutan royalti setelah adanya Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pada revisi mendatang, harapannya peran LMKN dapat lebih diperjelas.
Hal itu disampaikan oleh tokoh musik legendaris sekaligus anggota LMKN Candra Darusman.
Candra membeberkan, pada tahun 1991, LMK pertama di Indonesia, KCI, berhasil menghimpun dana sebesar Rp 456 juta. Dengan adanya kepastian hukum melalui UU No. 28 Tahun 2014, jumlahnya kemudian melonjak drastis, dengan posisi pungutan royalti LMKN pada 2024 tembus lebih dari Rp 200 miliar.
Pun hingga saat ini, Candra menyebut Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) sudah melakukan upaya sosialisasi optimal untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha terkait.
“DJKI boleh dibilang sudah berkeliling daerah dan ke pengusaha. Cuman di Indonesia memang sepertinya lebih efektif kalau terjadi insiden seperti pada Mie Gacoan tempo waktu itu. Tapi ya sudah kalau akhirnya kesadarannya meningkat,” kata Candra kepada Kontan, Minggu (10/8/2025).
Menyusul ramainya kasus yang terjadi pada Mie Gacoan, wacana revisi UU Hak Cipta pun kembali bergulir. Terkait itu, Candra berharap agar status hukum dan wewenang LMKN dapat lebih diperjelas untuk memperkuat posisinya sebagai pihak yang menagih dan menghimpun dana royalti.
Baca Juga: Kenali LMKN, Lembaga yang Berwenang Tarik Royalti Lagu di Indonesia
Selain itu, ia bilang perlu ada moratorium atau penghentian sementara untuk pemberian izin LMK baru. “Saat ini ada 15 LMK dan masih ada yang mengajukan izin baru. Sudah terlalu banyak, tidak efisien. Di Indonesia cukup 5 sampai 6 LMK saja,” katanya.
Dari segi legislasi, Candra menilai pada dasarnya dasar hukum yang ada saat ini sudah jelas. Namun, harapannya pemahaman dan penerapan di lapangan dapat terus ditingkatkan.
Polemik Besaran Tarif dan Penagihan ke UMKM
Menanggapi keluhan pelaku usaha terkait skema penetapan tarif royalti, Candra menjelaskan bahwa pada dasarnya perhitungan tak sesederhana soal kapasitas tempat usaha.
“Ada formula penetapan tarifnya, sudah memperhitungkan occupancy rate (tingkat keterisian) yang diperhitungkan hanya terisi kurang dari 50%. Juga termasuk perhitungan hari kerja, jadi tidak ditagih untuk 365 hari penuh,” papar Candra.
Baca Juga: Putar Suara Alam atau Burung di Restoran Tetap Kena Royalti, Ini Penjelasan LMKN
Selain itu, ia memastikan LMKN tidak mengejar UMKM dalam upaya penagihan royalti, mengingat belum ada rumusan resmi terkait tagihan untuk UMKM. Menurutnya, selama ini LMKN hanya menyasar usaha-usaha yang dinilai established dengan infrastruktur memadai dan cakupan yang jelas besar.
Saat ini LMKN juga tengah menggodok tarif baru yang akan disosialisasikan kepada pelaku usaha. Namun, Candra bilang rumusan tersebut belum bisa dibuka sekarang.
Candra juga memastikan penyaluran royalti kepada pemilik karya tepat sasaran, sebagaimana mandat LMKN selama ini.
“Lisensi itu kan paket lagu, jadi pelaku usaha bayarnya sudah paket. Nanti kalau dalam daftar paketnya ada lagu yang pemiliknya belum terdaftar anggota LMK, tarif royaltinya akan mengendap dulu di LMKN selama dua tahun,” papar Candra.
Nah untuk mengeklaim royalti tersebut, pemilik lagu bisa segera mendaftarkan diri sebagai anggota LMK. Namun jika hingga dua tahun berlalu pemilik lagu tak kunjung mengeklaim royaltinya, dana akan beralih ke dana cadangan LMKN untuk berbagai kebutuhan terkait, misalnya seperti pembinaan.
Baca Juga: APPBI: Kami Konsisten Bayar Royalti Musik, Tapi Sistem LMKN Perlu Disempurnakan
Selanjutnya: Amman Mineral dan Freeport Indonesia Bicara Soal Ekspor Tembaga ke AS Usai Tarif 0%
Menarik Dibaca: 9 Rekomendasi Jus yang Bagus Diminum saat Diet untuk Menurunkan Berat Badan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News