Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Rontok sudah pertahanan pemerintah dalam menghadapi serangan yang bertubi-tubi dari pengusaha tambang mineral. Buktinya, satu per satu, kadar minimum komoditas mineral diturunkan agar tetap bisa diekspor setelah 12 Januari nanti.
Berdasarkan hasil rapat bersama kalangan pengusaha pada Selasa (7/1) lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkenankan konsentrat bijih besi, mangan, timbal, dan seng. Saleh A Rais, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Mangan Indonesia (Aspemindo) mengatakan, kadar minimum konsentrat mangan yang boleh diekspor ditetapkan menjadi 40%. "Kami diberi waktu oleh pemerintah sampai 2017 untuk melakukan pemurnian mangan di dalam negeri," kata dia usai mengikuti rapat bersama Kementerian ESDM, Selasa (7/1).
Seperti diketahui, berdasarkan Permen ESDM Nomor 20/ 2013, kadar minimum mangan yang boleh diekspor mulai pekan depan hanyalah produk jadi yang telah diproses di pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Adapun turunan produknya seperti ferro mangan kadar 60%, dan silika mangan kadar 60%.
Namun, berdasarkan rapat tersebut, pemerintah masih memberikan kelonggaran dengan membolehkan ekspor bijih mangan yang telah diolah dengan kadar minimal 40%. "Kami mengapresiasi pemerintah dengan adanya kemudahan ini," ujar Saleh.
Sementara itu, soal konsentrat bijih besi juga telah dibahas bersama pengusaha, asosiasi, dan pemerintah. Hasilnya, olahan bijih besi dengan kadar 51% (laterit) dan 62% (primary) masih boleh diekspor pada pekan depan. "Pengusaha lokal masih bisa berproduksi dengan kebolehan ekspor konsentrat ini," Didie Suwondho, Ketua Satgas Hilirisasi Mineral Kadin Indonesia.
Padahal, dalam peraturan sebelumnya, komoditas bijih besi yang boleh diekspor pada tahun ini hanyalah produk jadi yang telah melalui proses pemurnian di smelter. Adapun produk akhirnya adalah sponge iron kadar 75%, pig iron berkadar 90%, dan logam paduan kadar 88%.
Selain kadar minimum mangan dan bijih besi yang tetap bisa diekspor, pengusaha seng juga gembira. Ricky Gowdjali, Direktur PT Lumbung Mineral Santosa mengatakan, pihaknya mengapresiasi keputusan pemerintah yang telah memperbolehkan ekspor konsentrat seng dan timbal pada tahun ini. Pasalnya, proses pembangunan smelter perusahaannya baru dapat dirampungkan pada dua tahun mendatang.
Tahun 2014 ini, Lumbung Mineral menargetkan produksi perusahaannya mencapai 12.000 ton. Namun, "Kami rasa jumlah ekspor konsentrat tetap akan dibatasi pemerintah. Kami akan menunggu jumlah kuota yang diberikan kepada perusahaan," ujar Ricky.
Dede Ida Suhendra, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM mengaku, pembahasan dengan ketiga pengsuaha tersebut masih harus dikonsultasikan kembali dengan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa.
Ekspor tak terkendali
Hanya saja, rencana pemerintah yang juga bakal tetap membuka lebar keran ekspor konsentrat tembaga diprediksi akan merusak harga logam tembaga di pasar internasional. Karenanya, pengusaha pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) logam tembaga murni atawa copper cathoda meminta pemerintah berpikir ulang soal kelonggaran ekspor konsentrat setelah 12 Januari nanti.
Natsir Mansur, Ketua Umum Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) mengatakan, sekarang ini, memang eksportir terbesar tembaga masih dikuasai oleh PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara dengan total volume ekspor sekitar 2 juta ton per tahun.
Namun, pada kenyataannya, ada puluhan izin usaha pertambangan (IUP) ataupun izin pertambangan rakyat (IPR) di Sulawesi yang juga memproduksi konsentrat tembaga seperti produksi Freeport dan Newmont. Saat ini, ekspor konsentrat tembaga dari IUP masih kecil, yakni hanya sekitar 8.000 ton per tahun.
Nah, kelonggaran ekspor konsentrat pastinya membuat IUP maupun IPR akan berlomba-lomba untuk memproduksi sekaligus mengekspor produk mineral yang belum diproses di smelter tersebut. "Apalagi proses pengolahan bijih mineral menjadi konsentrat itu cukup sederhana," ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News