Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah proyek infrastruktur berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) dinilai justru menjadi beban tambahan bagi beberapa perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menggarap proyek tersebut.
Sebagai contoh, baru-baru ini PT Kereta Api Indonesia (Persero) menyatakan bahwa proyek Light Rapid Transit (LRT) Jabodebek justru malah makin membebani keuangan perusahaan tersebut. Sebab, terdapat kejanggalan sejak proyek ini dimulai, yakni KAI mesti bertindak sebagai pembayar kepada kontraktor sekaligus membiayai operasional LRT Jabodebek.
Nilai proyek LRT Jabodebek sendiri membengkak dari Rp 29,9 triliun menjadi Rp 32,5 triliun. Jadwal operasional LRT Jabodebek juga molor dari Agustus 2022 menjadi kuartal IV-2022.
Baca Juga: Hadapi Kenaikan Bahan Baku Bangunan, Adhi Karya (ADHI) Pastikan Tak Revisi Target
Setali tiga uang, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung juga bermasalah lantaran dana Penyertaan Modal Negara (PMN) tak kunjung cair, sehingga proyek ini terancam kembali molor dari target pada Juni 2023. Arus kas PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) tentu tak bisa menutupi kekurangan biaya pada proyek ini.
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung menelan biaya investasi mencapai US$ 6,07 miliar, ditambah adanya potensi pembengkakan biaya sekitar US$ 1,17 miliar-US$ 1,9 miliar.
Sementara itu, PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) tengah menghadapi tekanan usai menggarap sejumlah proyek infrastruktur seperti jalan tol di berbagai daerah Tanah Air. WSKT harus menanggung liabilitas mencapai Rp 86,08 triliun per kuartal I-2022, meski jumlah ini sebenarnya sedikit berkurang 2,33% (yoy).
Padahal, pendapatan usaha WSKT hanya Rp 2,74 triliun atau naik 2,62% (yoy) di kuartal I-2022. Rugi bersih WSKT pun membengkak dari Rp 46,09 miliar di kuartal I-2021 menjadi Rp 830,63 miliar di kuartal I-2022.
Baca Juga: Proyek LRT Jabodebek Mundur ke Kuartal IV-2022, Ini Sebabnya
Guna memperbaiki kinerjanya, WSKT cukup gencar melakukan divestasi ruas jalan tol yang pernah digarapnya. Tahun ini, WSKT berencana mendivestasi 5 ruas jalan tol dengan target dana sebesar Rp 2,98 triliun. Yang terdekat, pada Juni lalu WSKT mendivestasi ruas tol Cimanggis-Cibitung senilai Rp 306 miliar kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
PT Hutama Karya (Persero) juga tengah bersusah payah menyelesaikan proyek Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS). Saat ini, Hutama Karya masih berfokus untuk menggarap sejumlah ruas JTTS tahap I. Perusahaan ini pun memerlukan dana PMN senilai Rp 30,56 triliun yang akhirnya telah mendapat persetujuan dari DPR RI untuk tahun depan.
PMN ini diperkirakan akan cair pada kuartal II-2023 mendatang demi melanjutkan pembangunan JTTS tahap I dan dimulainya sebagian ruas JTTS tahap II.
Ekonom dan Direktur Center of Law & Economic Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, masalah-masalah yang dihadapi BUMN tersebut sebenarnya dimulai dari perencanaan awal. Sebab, beberapa proyek infrastruktur seharusnya lebih cocok ditanggung penuh oleh dana APBN.
BUMN yang mendapat penugasan proyek infrastruktur pun semestinya lebih dahulu memperhatikan internal rate of return (IRR) proyek yang bersangkutan, terlebih lagi jika BUMN tersebut harus menerbitkan instrument finansial seperti surat utang guna memperoleh pendanaan proyek infrastruktur.
Baca Juga: Proyek LRT Jabodebek dan Kereta Cepat Masih Mandek, Begini Tanggapan Pengamat
Keputusan terkait pendanaan proyek infrastruktur oleh BUMN pun terkadang tak lepas dari hal-hal berbau politis, sehingga akhirnya berdampak kepada progres proyek yang tidak optimal. Ketika proyek tersebut hendak dilepas, belum tentu banyak investor lain yang tertarik.
“Mungkin ke depannya, pemerintah harus lebih selektif memilih proyek infrastruktur mana yang secara studi kelayakan bisa dikerjakan oleh BUMN dan mana yang harus didukung oleh APBN,” ungkap Bhima, Selasa (12/7).
Terkait sumber pendanaan alternatif yang bisa dioptimalkan oleh BUMN, Bhima berpendapat bahwa keberadaan Sovereign Wealth Fund (SWF) atau lembaga pengelola investasi melalui Indonesia Investment Authority (INA) dapat lebih diberdayakan. INA memang ditujukan untuk menarik investor-investor mancanegara untuk bekerja sama dengan BUMN dalam menggarap berbagai jenis proyek di Indonesia.
Selain itu, pendanaan melalui instrumen yang bersifat green financing juga bisa dimanfaatkan oleh BUMN, terutama ketika mereka menggarap proyek infrastruktur yang sejalan dengan visi green financing. Misalnya, proyek energi terbarukan, fasilitas sanitasi, fasilitas air bersih, pengelolaan limbah, dan kawasan industri hijau.
Baca Juga: Proyek LRT Jabodebek Jadi Beban PT KAI? Berikut Penjelasan Direktur Utama PT KAI
Menurut Bhima, jika dipaksa terus-menerus memakai pendanaan yang ada seperti sekarang, maka BUMN harus menanggung cost of fund yang lebih besar. Utamanya untuk penerbitan surat utang atau kredit perbankan.
“Sekarang suku bunga acuan di mana-mana trennya sedang naik, sementara tidak semua proyek infrastruktur punya return yang tinggi,” tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News