kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mengkritik kebijakan daging sapi


Selasa, 19 September 2017 / 20:20 WIB
Mengkritik kebijakan daging sapi


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (Pataka) Yeka Fatika menilai, beberapa kebijakan pemerintah dalam peternakan sapi masih kurang tepat. Dia menyoroti kebijakan pemerintah yang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk daging beku serta program Upsus Siwab  (Sapi Indukan Wajib Bunting).

Menurut Yeka, dengan adanya penetapan harga untuk daging beku serta dibukanya keran impor, mengakibatkan kerugian bagi peternak sapi. Bahkan, harga daging sapi saat ini belum sesuai dengan HET yang ditetapkan yakni Rp 80.000 per kg. Bahkan menurut Yeka, akibat harga yang ditekan dan impor daging dibuka, banyak pedagang yang akhirnya mencampur sapi dengan daging kerbau.

"Harga yang ditetapkan membuat petani merufi. Hal ini karena ketika daging semakin murah, otomatis mengurangi harga di peternak. Jumlah sapi yang dijual peternak juga semakin lama semakin menurun," ujar Yeka, Selasa (19/9).

Penurunan jumlah sapi ini menurut Yeka dikarenakan biaya pengobatan, pakan, tenaga kerja, harga pembibitan bakalan yang turut mengalami kenaikan. Menurut Yeka, adanya program Upsus Siwab juga masih kurang efektif dalam meningkatkan populasi sapi. Pasalnya, kondisi sapi saat ini sudah tidak sehat sehingga tidak memungkinkan untuk berkembang biak.

"Pemerintah memberikan subsidi lewat Upsus Siwab yang dimana menyuntik sapi dengan harga yang lebih murah, bahkan digratiskan. Tetapi ternyata idnsuk sapinya sudah tidak sehat. Sehingga proses penyuntikan bisa 5 - 7 kali. Tidak sehat karena teknis budi daya yang tidak tepat, pakan yang tidak baik dan masalah lain. Jadi pendekatannya harus ini dulu," jelas Yeka.

Kebijakan pemerintah yang menerapkan kebijakan impor 1:5 dianggap dapat merugikan feedloter atau peternak sapi penggemukan dan peternak rakyat skala kecil. Kebijakan impor sapi 1:5 ini artinya tiap mengimpor lima ekor sapi bakalan, wajib impor satu ekor indukan. Kata Yeka, selain tidak efisien, kebijakan ini juga menyebabkan peternak rakyat kehilangan peluang untuk melakukan pembibitan sapi.

"Kalau itu bisa dilakukan berarti yang melakukan pembibitan adalah peternak besar. Padahal awalnya itu peluang dimiliki oleh peternak rakyat, justru diambil alih oleh feedloter. Itu juga kalau feedloternya mau. Ini menunjukkan ada persaingan. Bahkan banyak feedloter yang sebenarnya sudah rugi karena kebijakan ini. Dari sisi ekonomi pun tidak ekonomis. Berarti kalau saya mau impor 1000 sapi, saya harus belir 200 bibit. sementara kita tidak tahu 200 bibit itu bisa berkembang biak berapa lama," turur Yeka.

Menurut Yeka, dibandingkan melaksanakan kebijakan tersebut, ada baiknya pemerintah menyediakan subsidi pakan ternak, memberi subsidi sapi bakalan, tidak mengatur harga sapi tetapi menata rantai pasokan daging sapi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×