Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pemerintah masih memandang strategis industri rokok nasional. Itu sebabnya, hingga kini pemerintah enggan meratifikasi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Bahkan, Menteri Perindustrian Fahmi Idris terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap FCTC. "Saya salah satu yang mencegah pemerintah Indonesia menandatangani FCTC itu," tandasnya, akhir pekan lalu.
FCTC merupakan perjanjian global di bidang kesehatan masyarakat. Sidang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa Mei tahun 2003 secara aklamasi menyetujui ketentuan ini. Namun, beberapa anggota WHO belum menandatangani komitmen pelaksanaan FCTC, salah satunya adalah Indonesia.
Fahmi menolak FCTC karena industri rokok mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. "Industri ini menyerap sekitar 12 juta orang," ujar Fahmi.
Selain itu, sumbangan industri rokok terhadap pendapatan cukai negara juga sangat besar. Pada 2008, setoran cukai rokok mencapai Rp 54 triliun. Setiap tahun, cukai rokok cenderung naik. "Apalagi, rokok kretek ini produk asli Indonesia," tutur Fahmi.
Meski begitu, kata Fahmi, pemerintah tetap berupaya mengendalikan konsumsi tembakau. Caranya, pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah tentang konsumsi rokok. Bahkan, beberapa Pemda seperti Jakarta menerbitkan Perda yang melarang merokok di tempat umum.
Sayang, produsen rokok enggan memberi komentar. "Maaf, saya tidak bisa komentar saat ini," kata Muhaimin Moefti, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News