Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
Kementerian ESDM mencatat pada medio 2014 hingga 2019 ada empat pabrik yang terpaksa harus tutup antara lain KIG Jakarta (2014), Iglass Surabaya (2015) yang sudah beroperasi 30 tahun, FNG Jakarta (2018) dan Samudera Kudus (2019).
Arifin melanjutkan, kenaikan harga gas juga terjadi pada industri baja yang mencapai 21,2%. Pada 2014 harga gas tercatat US$ 7,56 per MMBTU dan di 2019 meningkat menjadi US$ 9,16 per MMBTU. Hal ini berimbas pada tingkat utilitas pabrik yang merosot hingga 40%. Selain itu terjadi peningkatan impor sebesar 13,5% atau menjadi 8,4 juta ton pada 2019 lalu.
Kendati demikian, terjadi peningkatan produksi mencapai 67,7% dimana pada 2014 produksi tercatat sebesar 6,5 juta ton dan di 2019 meningkat menjadi 10,9 juta ton. Selain itu ekspor turut meningkat hingga 230% menjadi 3,3 juta ton.
Baca Juga: Harga minyak WTI anjlok 6,9%, analis prediksi harga bakal kembali normal di 2021
Arifin menjelaskan, peningkatan produksi dan ekspor yang terjadi dikarenakan adanya investasi baru smelter pengolahan mineral. Selain itu, terjadinya penghentian fasilitas produksi berbasis gas yang dinilai tidak kompetitif.
Penerapan harga gas US$ 6 per MMBTU dalam pemen ESDM No.89 K/10/MEM/2020 tentang Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri bagi 7 sektor industri, dinilai Arifin dapat turut mendorong utilisasi produksi dan peningkatan nilai tambah komoditas.
Ia mencontohkan pada industri sarung tangan karet, banyak perusahaan yang memutuskan untuk menutup pabrik di Indonesia dan berinvestasi di Vietnam. "Penerapan harga gas ini juga diharapkan mendorong penyerapan tenaga kerja, dari 7 sektor penerima manfaat tercatat ada 370 ribu tenaga kerja, yang terbesar dari keramik di atas 140.000 tenaga kerja," jelas Arifin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News