Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan sejumlah latar belakang penerapan harga gas US$ 6 per MMBTU termasuk dampak yang ditimbulkan pada sejumlah industri jika harga gas terlalu mahal.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menuturkan, harga gas di atas US$ 6 per MMBTU berpotensi menghambat kinerja industri dan berujung pada meningkatnya impor. "Harga gas ini memberikan tekanan pada industri pemakai mulai dari 2018 termasuk BUMN antara lain PT Pupuk dan PLN. Terjadi peningkatan biaya subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung oleh pemerintah," tutur Arifin dalam RDP Virtual bersama Komisi VII, Senin (4/5).
Baca Juga: ESDM bakal evaluasi kebijakan keringanan tarif listrik yang berlaku saat ini
Ia mencontohkan, untuk industri sarung tangan karet terjadi kenaikan harga gas di plant gate pada rentang 2014 - 2019 sebesar 31,6% menjadi US$ 9,95 - US$ 10,89 per MMBTU. Hal ini berimbas pada menurunnya kapasitas produksi mencapai 29,4% pada 2019 lalu atau menjadi 23,6 juta pcs/hari.
Disisi lain, terjadi peningkatan impor mencapai 48,9% atau menjadi US$ 30,65 juta dari tahun 2014 yang sebesar US$ 20,59 juta. "Beberapa pabrik harus tutup seperti PT WRP Buana Multicorpora, PT Indiglove, PT Mandiri Inti Buana, PT Smart Gloves, PT Abergummi Medical, PT Irama Dinamika Latek, PT Citra Latek Lestari, PT Gotong Royong, PT Hamko Pratika," jelas Arifin.
Industri keramik pun turut terdampak, terjadi peningkatan harga gas di plant gate yang mencapai 21,2% di plant gate pada rentang 2014-2019 menjadi US$ 9,16 per MMBTU. Kenaikan harga ini berdampak pada penurunan produksi menjadi 347 juta m² atau turun 21,1% dari 2014 hingga 2019. Bahkan impor industri keramik meningkat hingga 63,3% pada rentang waktu yang sama menjadi 89,8 juta m².
Selanjutnya, industri gelas yang mencatatkan penurunan produksi hingga 38,2% pada 2014 hingga 2019 lalu menjadi 0,77 juta ton per hari. Hal ini sebagai imbas dari kenaikan harga gas sebesar 21,2% menjadi US$ 9,16 per MMBTU.
Baca Juga: Menteri ESDM: Pemerintah prioritaskan keringanan listrik bagi pelanggan tidak mampu
Arifin mengungkapkan, industri gelas Indonesia sebelumnya merupakan salah satu dari dua yang terbesar di kawasan Asia Tenggara, harga gas yang mahal membuat Indonesia kalah dari Malaysia. Hal ini bahkan berdampak pada komoditas impor yang meningkat dari Malaysia. Impor industri gelas meningkat 12,7% atau menjadi US$ 101,8 juta pada 2019 lalu.
Kementerian ESDM mencatat pada medio 2014 hingga 2019 ada empat pabrik yang terpaksa harus tutup antara lain KIG Jakarta (2014), Iglass Surabaya (2015) yang sudah beroperasi 30 tahun, FNG Jakarta (2018) dan Samudera Kudus (2019).
Arifin melanjutkan, kenaikan harga gas juga terjadi pada industri baja yang mencapai 21,2%. Pada 2014 harga gas tercatat US$ 7,56 per MMBTU dan di 2019 meningkat menjadi US$ 9,16 per MMBTU. Hal ini berimbas pada tingkat utilitas pabrik yang merosot hingga 40%. Selain itu terjadi peningkatan impor sebesar 13,5% atau menjadi 8,4 juta ton pada 2019 lalu.
Kendati demikian, terjadi peningkatan produksi mencapai 67,7% dimana pada 2014 produksi tercatat sebesar 6,5 juta ton dan di 2019 meningkat menjadi 10,9 juta ton. Selain itu ekspor turut meningkat hingga 230% menjadi 3,3 juta ton.
Baca Juga: Harga minyak WTI anjlok 6,9%, analis prediksi harga bakal kembali normal di 2021
Arifin menjelaskan, peningkatan produksi dan ekspor yang terjadi dikarenakan adanya investasi baru smelter pengolahan mineral. Selain itu, terjadinya penghentian fasilitas produksi berbasis gas yang dinilai tidak kompetitif.
Penerapan harga gas US$ 6 per MMBTU dalam pemen ESDM No.89 K/10/MEM/2020 tentang Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri bagi 7 sektor industri, dinilai Arifin dapat turut mendorong utilisasi produksi dan peningkatan nilai tambah komoditas.
Ia mencontohkan pada industri sarung tangan karet, banyak perusahaan yang memutuskan untuk menutup pabrik di Indonesia dan berinvestasi di Vietnam. "Penerapan harga gas ini juga diharapkan mendorong penyerapan tenaga kerja, dari 7 sektor penerima manfaat tercatat ada 370 ribu tenaga kerja, yang terbesar dari keramik di atas 140.000 tenaga kerja," jelas Arifin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News