Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif menegaskan tidak ada rencana penyesuaian Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) senilai US$ 6 per MMBTU untuk 7 sektor industri sejauh ini.
Sebagai gambaran, ketentuan HGBT tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 89 Tahun 202 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Tujuh sektor industri tersebut terdiri dari Industri Pupuk, Petrokimia, Oleokimia, Baja, Keramik, Kaca dan Industri Sarung Tangan Karet. Berdasarkan aturan itu, skema harga ini berlangsung dari 2020 sampai 2024.
“Tidak (ada penyesuaian harga). Kami masih melihat ini memberikan manfaat untuk industri,” jelasnya saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (17/3).
Arifin mengatakan, saat ini evaluasi HGBT yang dilakukan pemerintah lebih kepada kinerja perusahaan yang menerima harga gas khusus ini. Evaluasi ini dilakukan di Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian.
Baca Juga: Kantongi Peningkatan Kontrak, Satyamitra Kemas (SMKL) Tingkatkan Penerapan Aspek ESG
Dia yakin, harga gas murah dapat mendukung pengembangan 7 sektor industri tersebut. Jika bisnis berkembang baik, kapasitas produksi penuh tentu akan memberikan efek berganda (multipiler effect) bagi pemasukan negara.
Sebelumnya, Chairman Indonesia Gas Society, Aris Mulya Azof mengungkapkan harga gas yang ditetapkan pemerintah sepintas memberikan manfaat besar bagi industri hilir, khususnya untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan. Namun dalam implementasinya, ternyata target pemerintah agar industri hilir bisa berkembang dan lebih banyak menyumbangkan penerimaan kepada negara dari sisi perpajakan justru tidak sepenuhnya tercapai.
Dia menjelaskan, pemerintah menargetkan kebijakan HGBT bisa memberikan efek berganda, namun hingga kini hal tersebut belum terealisasi. Padahal pengembangan gas bumi pada era transisi energi mendesak untuk segera dilakukan karena sumber energi ini dianggap merupakan energi fosil yang paling bersih dibandingkan batubara dan minyak bumi.
“Mungkin harga US$ 6 per MMBTU bisa dikoreksi akibat penerimaan negara secara total terus berkurang,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (17/3).
Menurutnya, kebijakan HGBT harus dievaluasi untuk menghitung efek berganda dan nilai tambah yang diharapkan pemerintah, seperti meningkatkan kapasitas produksi, meningkatkan investasi baru, meningkatkan efisiensi proses produksi sehingga produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif dan meningkatnya penyerapan tenaga kerja.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, berharap pemerintah dapat melihat permasalahan yang ada dengan menggunakan helicopter of view yang lebih luas. Pemerintah harus bisa menelurkan kebijakan yang proporsional.
Dia mengingatkan migas ke depan masih sangat diperlukan. Kendati Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi fokus pemerintah, namun berdasarkan kajian sejumlah lembaga menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan energi pada sisi volume. Meskipun secara persentase terlihat menurun. Oleh karena itu, perlakuan terhadap industri hulu migas tidak boleh dilakukan serampangan.
“Apakah ada potensi gagal pada pengembangan EBT? Menurut saya hal itu sangat besar kemungkinannya, terkait masalah pembiayaan dan teknis penyediaannya sendiri,” ujarnya.
Baca Juga: Adaro Green, Medco Power, dan Energi Baru TBS Kerjasama di Bisnis Rantai Pasok PLTS
Selain panas bumi, pengembangan EBT sangat bergantung pada cuaca. PLTA bergantung pada debit air. Begitujuga dengan PLTS. Ini alasan mengapa gas bumi menjadi penting untuk diperhatikan. Serikat, Jerman, Rusia, China dan Australia. Hal itu membuat persaingan memperebutkan gas bumi akan sangat besar di kemudian hari.
“Kita punya gas harus dioptimalkan dan dijaga supaya jangan sampai kebijakan HGBT ini membuat potensi gas bumi Indonesia tidak teroptimalisasi,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association, Marjolijn Wajong mengatakan, saat ini investor migas harus lebih selektif dalam menempatkan investasinya di suatu negara. Pasalnya, perusahaan-perusahaan migas global telah membagi portofolio investasi mereka antara energi dan enegri baru terbarukan.
“Dengan berkurangnya porsi investasi di energi fosil, investor harus benar-benar mempertimbangkan di mana mereka akan berinvestasi. Hal ini harus termasuk menjadi pertimbangan semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah agar produksi gas bumi tetap terjaga dan tidak terjadi krisis energi,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News