Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Ketika masih pusing menghitung dampak krisis keuangan global, pengusaha dalam negeri sedikit mendapat kabar baik. Bersamaan dengan turunnya harga premium bersubsidi sebesar Rp 500 mulai Senin ini (1/12), PT Pertamina kembali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) industri alias BBM non-subsidi.
Dibanding dengan periode sebelumnya, harga jual keekonomian atau harga pasar dengan memakai hitungan dolar AS turun 6,5% hingga 14%. Sedang harga pasar dengan rupiah turun 1,5% hingga 9,4%. Penurunan ini terjadi karena fluktuasi harga Mean of Platt''s Singapore (MOPS) dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Harga baru premium industri di Jakarta, misalnya, kini jadi Rp 6.500 per liter, minyak tanah Rp 7.130 per liter, dan solar Rp 6.627 per liter.
Tapi, pengusaha menyambut dingin penurunan harga BBM industri ini. Mereka menilai angka penurunan terlalu kecil, sehingga tidak terlalu memberi keuntungan. Alasannya, nilai tukar rupiah terhadap dolar yang melemah cukup signifikan hingga 30%. “Jadi, turun pun percuma, harga BBM industri turun sedikit, tapi nilai tukar dolarnya naik. Akhirnya, harganya tetap saja tinggi,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, Minggu (30/11).
Porsi BBM terhadap biaya produksi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sekitar 30%. Mungkin, jika nilai tukar rupiah tidak melemah, penu-runan harga itu sedikit membantu pengusaha menghadapi dampak krisis yang menyebabkan pengusaha tekstil banyak yang terjerembap.
Setali tiga uang, pengusaha makanan dan minuman juga merasakan serupa. Selama ini, kontribusi energi terhadap biaya produksi industri makanan dan minuman sebesar 5% hingga 10%. Di industri ini, pos yang paling banyak terkait dengan BBM adalah distribusi. “Saat ini, selain mengandalkan BBM, sumber energi di industri kami adalah listrik,” kata Franky Sibarani, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Bidang Regulasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News