Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri karet nasional masih terjerembab dalam keterpurukan dalam beberapa tahun terakhir. Tantangan bagi para produsen karet makin berat, mengingat adanya penerapan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa mulai awal Januari 2025 mendatang.
Kinerja industri karet Indonesia telah mengalami kemunduran sejak 2017 lalu. Berdasarkan data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), produksi karet alam nasional tercatat sebesar 3,68 juta ton pada 2017 silam.
Angka ini kemudian terus menurun pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2023 lalu, produksi karet alam nasional hanya mencapai 2,24 juta ton atau berkurang 17,34% year on year (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya. Hingga akhir 2024, produksi karet alam diprediksi kembali menyusut menjadi 2,15 juta ton.
Penurunan produksi sejalan dengan melemahnya ekspor karet alam. Pada 2017 silam, ekspor karet alam nasional masih bisa menyentuh level 3,27 juta ton. Namun, pada 2023 kemarin Indonesia hanya bisa mengekspor 1,79 juta ton karet alam. Gapkindo pun memperkirakan ekspor karet hanya akan mencapai 1,55 juta ton pada akhir 2024.
"Ekspor karet alam berpotensi turun 13,5% pada 2024, sedangkan hingga Juli kemarin sudah ada penurunan sekitar 15% secara tahunan," ujar Direktur Eksekutif GapkindoErwin Tunas, Senin (23/9).
Baca Juga: Gelombang PHK Melanda, Celios: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tidak Berkualitas
Merosotnya produksi dan ekspor karet alam nasional sangat dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut yang tergolong rendah dalam beberapa tahun terakhir. Harga karet alam sulit naik signifikan seiring konflik geopolitik yang terjadi di berbagai wilayah dunia.
Akibatnya, banyak petani karet tidak lagi tertarik menanam karet dan cenderung beralih ke komoditas lainnya yang lebih menguntungkan, misalnya sawit. "Idealnya, harga karet itu di atas US$ 2 atau US$ 3 per kilogram (kg) agar para petani bisa hidup sejahtera," kata Erwin.
Mengutip Trading Economics, harga karet alam global sebenarnya melonjak 40% yoy menjadi US$ 1,95 per kg. Namun, angka ini belum cukup ideal bagi para pelaku usaha di industri karet, termasuk bagi petani.
Para petani yang tetap aktif menanam karet juga kesulitan meningkatkan produktivitasnya lantaran adanya wabah penyakit gugur daun yang disebut Pestalotiopsis. Sektor karet juga kian terpinggirkan mengingat minimnya program peremajaan tanaman tua dan perubahan iklim global.
"Tidak sedikit lahan perkebunan karet yang beralih menjadi sawit," imbuh Erwin.
Lantas, produsen karet pun terus berguguran. Gapkindo menyebut, beberapa tahun lalu pabrik crumb rubber (karet remah) yang menjadi anggota Gapkindo mencapai 152 unit. Per akhir semester I-2024, jumlahnya anjlok menjadi hanya 117 unit. Ini pun pabrik yang aktif berproduksi hanya 99 unit saja dengan utilisasi rendah atau di kisaran 40%.
Tantangan Ekspor
Gapkindo juga menilai, rencana penerapan UU Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) akan semakin memberatkan langkah para pelaku usaha karet alam nasional untuk bangkit. Padahal, selama ini Uni Eropa menjadi salah satu tujuan ekspor utama karet alam Indonesia, selain Jepang, Amerika Serikat, dan China.
Regulasi ini menuntut para operator eksportir untuk melakukan penelusuran asal-usul komoditas yang dijualnya hingga ke sektor hulu. Hal ini jelas tidak mudah karena masalah seperti tumpang tindih penggunaan lahan hingga legalitas kerap ditemukan di lapangan.
Di sisi lain, tidak mudah bagi eksportir karet alam untuk mencari alternatif negara tujuan ekspor demi menghindari dampak EUDR. Justru, karet alam yang tidak memenuhi ketentuan EUDR bakal memiliki daya tarik yang rendah di negara-negara selain Eropa.
"Kalau kami ekspor ke India pun mereka pasti akan bertanya apakah karet Indonesia sesuai aturan EUDR atau tidak. Sebab, produsen ban India yang pakai karet dari Indonesia juga nantinya diekspor ke Eropa, sehingga berhadapan lagi dengan EUDR," jelas Erwin memberi contoh.
Baca Juga: Industri Ban Nasional Masih Diliputi Ketidakpastian
Erwin berharap pemerintah bisa memberi perhatian lebih terhadap industri karet nasional dan tidak membiarkan sektor ini terus terpuruk pada masa depan. Padahal, potensi bisnis karet tetaplah besar, terutama dari industri ban yang menyerap 76% hasil produksi karet alam.
Kebutuhan ban di seluruh dunia juga terus tumbuh untuk berbagai jenis kendaraan, termasuk alat berat dan pesawat terbang.
Di samping itu, Gapkindo juga terus mendorong penjualan ban untuk produk selain ban. Misalnya, sarung tangan karet, seismic bearing, komponen perlengkapan jalan, aspal karet, dan lain-lain.
Selanjutnya: Penurunan Suku Bunga Dorong Kemampuan Cicil Nasabah
Menarik Dibaca: 6 Cara Mencegah White Cast Akibat Sunscreen, Jangan Skip Moisturizer!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News