Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Rizki Caturini
MALANG. Pabrik rokok kecil dan menengah terus berguguran karena tingginya harga bahan baku rokok seperti cengkeh dan tembakau. Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) menyebut jumlah pabrik rokok yang mencapai 3.000 unit pada tahun 2010, kini hanya tinggal 1.330 unit atau turun 55,6%.
Ketua Harian Formasi, Heri Susianto mengatakan penurunan jumlah pabrik rokok terlihat di daerah Malang dan sekitarnya. Pada tahun 2008, jumlah pabrik rokok yang ada mencapai sekitar 500 pabrik. Namun saat ini, jumlahnya hanya mencapai 120 pabrik. "Salah satu penyebabnya karena harga bahan baku yang terus naik," kata Heri akhir pekan kemarin.
Akibat penutupan pabrik itu, Heri mengatakan industri rokok skala kecil dan menengah terpaksa memberhentikan ribuan karyawannya. Padahal pabrik rokok itu memiliki jumlah karyawan dari puluhan hingga mencapai 3.000 orang setiap pabriknya. Pabrik rokok itu tersebar di berbagai daerah terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Industri rokok skala kecil dan menengah menurut Bea Cukai adalah industri di golongan dua yang memproduksi 500 juta hingga 2 miliar batang per tahun dan golongan tiga yang memproduksi hingga maksimal 400 juta batang per tahun.
Menurut Heri, harga bahan baku rokok terus mengalami kenaikan sejak akhir tahun lalu. Kenaikan harga yang paling dirasakan adalah cengkeh yang kini telah mencapai Rp 180.000 per kilogram. Padahal harga normalnya di tahun 2010 hanya Rp 60.000 hingga Rp 70.000 per kilogram.
Selain cengkeh, harga tembakau juga terus mengalami kenaikan. Tahun lalu harga tembakau menurut Heri antara Rp 40.000 hingga Rp 60.000 per kilogram. Namun saat ini, harga tembakau mencapai Rp 70.000 hingga Rp 100.000 per kilogram. Harga cengkeh dan tembakau yang terus mengalami kenaikan disebabkan oleh produksi di dalam negeri yang merosot di tahun ini.
Tingginya harga bahan baku merupakan faktor alam yang tidak bisa ditolak. Namun banyaknya pabrik rokok skala kecil dan menengah yang gulung tikar juga tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang tidak mendukung industri rokok.
Salah satunya adalah kenaikan tarif cukai yang terjadi setiap tahun. Secara perlahan, pabrik-pabrik rokok kecil terus berguguran sejak pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai rokok dari PMK 203/PMK.011/2008 yang diperbarui menjadi PMK Nomor 181/PMK.011/2009. "Pemerintah menginginkan cukai yang tinggi tapi membatasi ruang gerak industri rokok," kata Heri.
Ruang gerak industri rokok salah satunya dibatasi dengan RPP rokok dan tembakau yang tengah dibahas di DPR. Industri rokok kecil dan menengah sendiri terpukul dengan banyaknya rokok ilegal yang beredar. Rokok ilegal itu tidak membayar cukai atau menggunakan cukai palsu. Pemerintah sendiri menurut Heri seperti membiarkan rokok ilegal beredar tanpa ada tindakan tegas.
Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Sudaryanto mengatakan, pemerintah semestinya tidak terlalu membatasi industri rokok yang merupakan salah satu industri prioritas. Apalagi hingga saat ini, pemerintah belum mampu menyelesaikan masalah keterbatasan lapangan kerja di tanah air.
Hal itu menyebabkan banyak masyarakat yang memilih menjadi tenaga kerja di luar negeri (TKI). "Industri rokok mampu menyerap ribuan tenaga kerja, seharusnya pemerintah memberi perhatian," kata Sudaryanto.
Benny Wahyudi, Dirjen Industri Agro Kemenperin mengatakan industri rokok masih diperlukan untuk mendukung penyediaan lapangan kerja di dalam negeri. Selain itu, industri ini juga membantu keuangan negara melalui cukai yang dibayarkan tiap tahun. "Aturan yang ada seharusnya tidak terlalu membatasi rokok," kata Benny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News