Reporter: Asnil Bambani Amri |
JAKARTA. Industri rokok nasional kekurangan bahan baku tembakau dari dalam negeri. Hal itu terjadi karena hasil panen lebih rendah daripada total kebutuhan tembakau pabrik rokok.
Menurut Muhaimin Muftie, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), kebutuhan tembakau industri rokok mencapai 240.000 ton per tahun atau ekuivalen dengan produksi rokok sebanyak 230 miliar- 240 miliar batang per tahun.
Sementara produksi tembakau nasional hanya mampu menyuplai tembakau sekitar 150.000 ton hingga 180.000 ton. "Jadi memang ada kekurangan di sini (dalam negeri)," kata Muhaimin saat berkunjung ke redaksi KONTAN, Kamis (31/3).
Untuk menutup kekurangan pasokan tembakau itu, industri rokok harus mendatangkannya dari negara lain. Akan tetapi, Muhaimin menjelaskan, untuk mengimpor tembakau, industri harus memperhatikan harga menguntungkan secara bisnis. Jika harga tembakau di luar negeri lebih rendah, barulah impor layak menjadi pilihan. "Tentu, itu adalah logika bisnis," kata Muhaimin.
Untuk menutup selisih produksi tembakau dengan kebutuhan tembakau pabrik rokok mencapai 60.000 ton - 90.000 ton per tahun, salah satunya Indonesia memasok tembakau dari China. Negara pemosok tembakau impor lainnya, antara lain Zimbabwe, Turki, Brasil, dan juga Thailand.
Walupun impor, Muhaimin mengaku tetap memprioritaskan penyerapan tembakau dari petani dalam negeri sebegai prioritas. Selain tembakau, industri rokok juga menyerap hasil panen cengkeh petani sebagai bahan baku rokok.
Kekurangan tembakau untuk industri rokok tersebut juga diakui Budidoyo, Sejen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI). Ia berkata, produksi tidak maksimal karena luas lahan kebun tembakau stagnan. "Jumlah areal dari tahun ke tahun hanya berkisar 200.000 hektare (ha) -240.000 ha," kata Budidoyo.
Alhasil, produksi tembakau tak mampu mengiringi pertumbuhan penjualan rokok dari perusahaan rokok nasional. Selain lahan, masalah produksi tembakau juga datang dari faktor cuaca. Jika cuaca penghujan, maka produksi tembakau turun drastis. Kasus ini terjadi tahun 2010 lalu, saat produksi tembakau anjlok menjadi 80.000 ton akibat cuaca ekstrim.
Budidoyo mengaku tidak keberatan dengan import tembakau yang dilakukan industri rokok. Ia yakin, tembakau impor tidak mampu menggantikan tembakau lokal. Bahkan tidak mustahil, tembakau impor itu hanya untuk campuran (blending). "Ini masalah rasa (taste), sehingga tembakau dari Temanggung tidak bisa begitu saja digantikan oleh tembakau lain," kata Budidoyo.
Tahun 2011 ini, Budioyo berharap produksi tembakau bisa membaik dibandingkan 2010 lalu. Namun, lagi-lagi produksi tembakau itu sangat bergantung kepada pada kondisi cuaca.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News