Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Energy Shift Institute melihat pamor nikel di Indonesia sebagai bahan baku kendaraan listrik masih akan prospektif di dalam masa transisi energi. Kebutuhan nikel untuk kendaraan listrik sendiri tidak serta-merta dikalahkan oleh alternatif energi lain untuk transportasi seperti lithium iron phospate (LFP) dan hidrogen.
Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna menegaskan, pengembangan nikel di Indonesia akan terus berlanjut.
“Teknologi baterai memang senantiasa bergeser, tetapi nikel akan tetap diperlukan,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (24/1).
Menurutnya, pergeseran material bahan baku energi di sektor mobilitas tidak hanya pada LFP saja, tetapi juga terjadi pada dikuranginya material kobalt.
Baca Juga: Bahlil Sebut Tesla Masih Pakai Nikel Untuk Bahan Baku Baterai Listrik
“Bagaimana industri baterai mencoba menekan penggunaan material cobalt yang pengadaannya memiliki kendala ESG dari negara seperti Kongo,” jelasnya.
Di saat yang bersamaan, teknologi terus berkembang. Sumber energi untuk menyalakan kendaraan berbahan bakar bersih tidak hanya dari listrik, tetapi juga bergeser ke hidrogen.
Melihat ini, Putra menilai, meski saat ini juga sudah mulai ramai kendaraan dengan bahan bakar hidrogen, perkembangan hidrogen untuk transportasi darat masih jauh dari harapan.
Jumlah seluruh mobil hidrogen di dunia masih dalam kisaran 100.000 unit sampai 200.000-an unit. Masih jauh jika dibandingkan dengan penjualan kendaraan listrik di kisaran 14 juta unit per tahunnya.
Yang menarik penjualan kendaraan hidrogen di Jepang pada tahun 2023 turun drastis 83% dibanding 2021, meski mereka terus menggaungkan ide kendaraan berbasis hidrogen. Melihat permintaan kendaraan listrik terus meningkat, kebutuhan nikel sebagai bahan baku baterai masih tetap diperlukan.
Hal yang sama juga disampaikan Deputi Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan. Dia bilang baterai berbasis nikel (Nikel Mangan Cobalt/NMC) dan lithium (Lithium Ferro Phosphate/LFP) tetap punya potensi untuk dikembangkan dalam jangka panjang dengan catatan tergantung pada permintaannya.
“Potensi pengembangan industri kendaraan listrik yang menggunakan LFP dan NMC masih punya kemungkinan. Saya lihat 2035 atau 2040 masih bisa tumbuh dua-duanya,” ujarnya di Jakarta, Selasa (23/1).
Baca Juga: Airlangga Sebut Hilirisasi Jadi Kunci Surplus Perdagangan Indonesia 44 Bulan Beruntun
Meski demikian, untuk mengembangkan baterai LFP di Indonesia tentu memiliki tantangan besar. Saat ini Indonesia belum memiliki sumber mineral lithium yang memadai ditambah pula sumber besi (Fe) notabene kecil-kecil dan terpencar di beberapa wilayah.
Walau begitu, bukan berarti Indonesia tidak bisa mengembangkan baterai LFP.
Nurul bilang, jenis baterai LFP maupun NMC akan tergantung pada kesuksesan Indonesia membangun ekosistem baterai kendaraan listrik.