Sumber: Tabloid Kontan | Editor: Hendrika
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah mencetak harga tertingginya selama beberapa bulan belakangan, awal Oktober lalu (US$ 62,30 per ton), laju batubara tersendat. Dalam jangka pendek dan menengah, para analis mensinyalir harga batubara tidak akan melambung tinggi lagi. Gara-garanya, China mengurangi impor batubara berkalori rendah, untuk membantu pebisnis lokal mereka.
Di lain pihak, GlobalData memperkirakan produksi batubara tumbuh tipis, meski ada pandemi. Total produksi tahun ini diramal mencapai 8,17 juta ton, naik dari tahun lalu yang 8,13 juta ton. Penurunan di Amerika, diimbangi peningkatan produksi dari India, Indonesia, dan Rusia.
Menjelang akhir kuartal IV, analis memprediksi ada kenaikan permintaan batubara karena musim dingin. Tahun depan, jika pandemi bisa dikendalikan dan ekonomi pulih, permintaan batubara akan mengerek harga.
Di dalam negeri, UU Cipta Kerja yang baru disahkan pun, mengatur insentif besar bagi pebisnis batubara, berupa pembebasan pembayaran royalti ekspor batubara dari tarif yang berlaku saat ini, sekitar 13,5%. Syaratnya, pebisnis batubara harus mempersiapkan hilirisasi batubara.
Proses hilirisasi ini tidak mudah, diakui oleh para pengusaha batubara, dan makan waktu. Maka, meskipun sudah ditetapkan dalam UU Minerba yang baru disahkan, pengusaha batubara membutuhkan peraturan pemerintah untuk kepastian hukum mereka berbisnis di Indonesia. “Hilirasi itu butuh waktu lama. Balik modalnya bisa sampai 30 tahun,” kata Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI). Namun, pembebasan royalti memang terlalu menarik untuk dilewatkan.
Nah, bagaimana tanggapan para pengusaha batubara mengenai insentif baru ini? Bagaimana pula rekomendasi analis untuk saham-saham terkait batubara. Ikuti tulisan di Tabloid KONTAN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
