kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pasokan Bahan Baku Seret, Industri Pengolahan Ikan Terancam Merugi


Kamis, 25 Agustus 2022 / 19:55 WIB
Pasokan Bahan Baku Seret, Industri Pengolahan Ikan Terancam Merugi
ILUSTRASI. Nelayan mengurangi aktivitas melaut akibat kesulitan memperoleh BBM subsidi


Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri pengolahan ikan Indonesia kembali menghadapi tantangan. Hal ini seiring para nelayan yang mengurangi aktivitas melaut akibat kesulitan memperoleh BBM subsidi, sehingga berdampak pada berkurangnya pasokan bahan baku ikan hasil tangkapan nelayan.

Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).Hendra Sugandhi menyampaikan, persoalan para nelayan yang tidak beroperasi sudah terjadi sejak awal tahun ini. Para nelayan bukan saja menghadapi kenaikan harga dan kelangkaan memperoleh BBM subsidi saja, melainkan juga lonjakan Pungutan Hasil Perikanan (PHP).

Kondisi ini menyebabkan pasokan bahan baku ikan untuk industri pengolahan ikan berkurang. Hal ini tentu akan merugikan bagi para unit pengolahan ikan (UPI) mengingat kapasitas produksi dan volume penjualannya berpotensi merosot.

Baca Juga: Nelayan Akui Kesulitan Peroleh BBM Subsidi untuk Melaut

Lantas, upaya-upaya efisiensi coba dilakukan oleh para produsen pengolahan ikan. Salah satunya dengan menaikkan harga jual produk ikan olahan sebagaimana hukum supply dan demand pada umumnya. “Namun, ironisnya beberapa komoditas hasil perikanan harga ekspornya justru menurun,” imbuh dia, Kamis (25/8).

Hendra pun menyebut, saat ini para pelaku usaha perikanan membutuhkan relaksasi kebijakan untuk mengantisipasi dampak negatif penurunan pasokan bahan baku ke unit pengolahan ikan.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengaku bahwa para nelayan kesulitan memperoleh BBM Solar bersubsidi. Salah satunya adalah para nelayan kesulitan untuk mengakses pembuatan surat rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan daerah asal nelayan yang bersangkutan.

Selain itu, infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) di Indonesia juga masih minim. Menurut catatan KNTI, sejauh ini jumlah SPBN yang beredar hanya sekitar 347 unit, sedangkan jumlah desa pesisir yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan mencapai 11.000-an desa di seluruh Indonesia.

Baca Juga: Sebelum Harga BBM Naik, Data Penerima Subsidi Harus Jelas Dulu

KNTI juga mencatat, selama periode 2016-2020 jumlah kuota BBM solar subsidi yang diterima nelayan ada di kisaran 1,9 juta kiloliter—2 juta kiloliter. Jumlah ini tak jauh berbeda ketika masuk di tahun 2021 dan 2022. Hanya saja, serapan Solar subsidi tersebut tergolong rendah di tiap tahunnya yakni hanya sekitar 26%.

“Kenyataannya di lapangan masih banyak nelayan yang tidak memperoleh Solar subsidi, meski kuotanya ada,” kata Dani, Kamis (25/8).

Dengan kondisi itu, para nelayan biasanya membeli BBM solar dari pengecer yang harganya berselisih Rp 1.000—Rp 2.000 dari harga BBM solar subsidi. Hal ini tentu bisa menambah beban operasional para nelayan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×