kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.927.000   10.000   0,52%
  • USD/IDR 16.295   -56,00   -0,34%
  • IDX 7.312   24,89   0,34%
  • KOMPAS100 1.036   -2,36   -0,23%
  • LQ45 785   -2,50   -0,32%
  • ISSI 243   1,24   0,51%
  • IDX30 407   -0,78   -0,19%
  • IDXHIDIV20 465   -1,41   -0,30%
  • IDX80 117   -0,14   -0,12%
  • IDXV30 118   -0,08   -0,07%
  • IDXQ30 129   -0,58   -0,45%

Pelaku Industri Alat Kesehatan Khawatirkan Dampak Penurunan Tarif Produk AS ke RI


Minggu, 20 Juli 2025 / 23:17 WIB
Pelaku Industri Alat Kesehatan Khawatirkan Dampak Penurunan Tarif Produk AS ke RI
ILUSTRASI. Pengunjung mencoba alat kesehatan USG jaringan otot saat pameran alat kesehatan di Tangerang, Banten, Jumat (7/6/2024).


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID – KUALA LUMPUR. Pelaku usaha di industri alat kesehatan dalam negeri menyuarakan kekhawatirannya terhadap dampak negosiasi tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS), yang berpotensi membuka keran impor produk asal AS dengan bea masuk sebesar 0%.

Sebagai informasi, Presiden Prabowo Subianto dan Pemerintah AS telah menyepakati penurunan tarif resiprokal dari sebelumnya 32% menjadi 19%.

Baca Juga: Menengok Pertumbuhan Industri Kesehatan Negeri Jiran di Tengah Ketidakpastian Global

Sebagai imbal balik, sejumlah produk dari AS akan masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenakan bea masuk.

Ketua Umum Gabungan Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia Raden Kartono Dwidjoesewojo menyatakan bahwa saat ini produsen dalam negeri masih menghadapi bea masuk bahan baku yang berkisar antara 0% hingga 25%.

“Bahan baku kami masih dikenakan bea masuk. Bagaimana mungkin kami bisa bersaing secara kompetitif dengan produk jadi dari AS yang masuk tanpa bea?” ungkap Kartono saat ditemui di sela acara International Healthcare Week (IHW) 2025 di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (17/7).

Ia menambahkan, sekitar 60%-75% bahan baku alat kesehatan buatan Indonesia masih bergantung pada impor, termasuk komponen seperti PCB, baut, hingga casing plastik yang sebagian besar didatangkan dari China.

Baca Juga: RS Medistra Gelar Seminar Nasional Bahas Inovasi Kardiologi Terkini

Meski sejumlah produk seperti tempat tidur pasien, monitor, alat elektrokardiogram (EKG), dan tensimeter sudah bisa diproduksi secara lokal, alat berteknologi tinggi seperti magnetic resonance imaging (MRI) dan CT Scan masih banyak diimpor dari negara seperti Jerman, China, AS, dan India.

Beberapa produsen lokal memang sudah mulai mengembangkan produk tersebut, namun skalanya masih terbatas.

Menurut Kartono, masuknya produk alat kesehatan asal AS dengan tarif 0% menjadi ancaman serius bagi produsen lokal dan menuntut pelaku industri dalam negeri untuk melakukan efisiensi menyeluruh.

Ia menilai, pemerintah perlu memberikan dukungan konkret seperti pembebasan bea masuk bahan baku, kejelasan roadmap industri alat kesehatan, serta bantuan promosi ekspor.

“Selama ini roadmap industri alat kesehatan dalam negeri tidak jelas. Misalnya, pengadaan alat antropometri yang dihentikan tanpa penjelasan, padahal program baru berjalan dua tahun,” imbuhnya.

Baca Juga: Ekonom Celios: Indonesia Merugi Besar dalam Negosiasi Tarif dengan AS

Kartono menekankan pentingnya kejelasan dari pemerintah mengenai produk apa saja yang akan diprioritaskan, serta durasi program pengadaannya, agar pelaku industri dapat menyiapkan kapasitas produksinya dengan tepat.

Ia juga berharap pemerintah aktif mendorong promosi produk dalam negeri di kancah internasional, misalnya dengan memfasilitasi booth pameran seperti yang dilakukan pemerintah Malaysia pada ajang IHW 2025.

“Perusahaan alat kesehatan dari luar negeri sering mendapat bantuan dari pemerintah mereka. Malaysia, misalnya, memberikan dukungan penuh kepada pelaku usahanya,” tuturnya.

Senada, Sekretaris Jenderal Gakeslab Faroman Avisena juga mengkritisi belum adanya rencana jangka panjang dari pemerintah dalam hal pengadaan alat kesehatan.

Padahal, menurutnya, pemerintah telah memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan pembangunan multilateral senilai sekitar Rp60 triliun.

Baca Juga: Netflix hingga Spotify Tak Kena Bea Masuk, Imbas Perjanjian Tarif AS-Indonesia

“Tanpa roadmap yang jelas, kami bingung kapan harus mulai produksi. Sementara kami sudah investasi beli lahan, mesin, memenuhi TKDN, dan sertifikasi,” ujar Faroman.

Ia menambahkan, pengadaan alat kesehatan seharusnya dilakukan melalui tender internasional, namun tanpa arahan dari pemerintah, perusahaan lokal kesulitan mempersiapkan diri dan kalah bersaing dengan produsen global.

Selanjutnya: Garuda Didorong Beli 50 Boeing, Ini Risiko Skema Pendanaan Menurut Ekonom

Menarik Dibaca: New! Promo Hoka Ichiman Royale di HokBen+, Yakimeshi Ori/Spicy Mulai Rp 27.000-an

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×