Reporter: Handoyo | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Industri makanan olahan berbasis daging sapi, khususnya berbahan baku secondary cuts atau bukan daging premium kelimpungan. Pasalnya, pemerintah hanya mengalokasikan impor daging beku premium atau prime cuts tahun ini seberat 32.000 ton saja. Daging jenis premium
antara lain meliputi tenderloin dan sirloin.
Isyana Mahisa, Ketua Ketua Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia atau National Meat Processing Indonesia (Nampa) mengatakan, potensi pasar industri pengolahan daging sapi berbasis secondary cuts di Indonesia cukup besar. Asosiasi ini menghitung, kebutuhan daging secondary cuts seperti bagian punggung, kaki dan lainnya mencapai 2.000 ton hingga 3.000 ton per tahun.
Jenis daging secondary cuts yang lain adalah brisket atau daging dada serta knuckle atau paha belakang. Produk yang dihasilkan dari bahan baku
ini antara lain daging asap atau smoked beef. "Kami sudah tujuh bulan tak menyuplai ke hotel produk secondary cuts," ujar Isyana, Senin (19/2).
Dari total alokasi impor daging 2013, Nampa mendapatkan jatah 14.500 ton daging impor. Saat ini kapasitas terpasang pabrik pengolahan daging sapi perusahaan yang tergabung di Nampa mencapai 18.000 ton-19.000 ton per tahun. Dari jumlah itu, sebanyak 15% adalah produsen daging olahan jenis secondary cuts. Adapun sebagian besar memproduksi nugget dan sosis.
Produsen daging olahan secondary cuts yang menjadi anggota Nampa ada 10 perusahaan dari total anggota Nampa 28 perusahaan. "Cukup banyak perusahaan yang memproduksi secondary cuts," kata Isyana.
Industri pengolahan daging sapi di Indonesia memang cukup beragam. Maka, bahan baku daging yang digunakan pun bervariasi. Dan setiap jenis usaha pengolahan tak dapat digantikan oleh bahan baku daging yang lain.
Menurut Isyana, kesulitan mendapatkan bahan baku jenis secondary cuts terjadi mulai 2012. Padahal di tahun sebelumnya, para produsen makanan olahan daging berbasis secondary cuts masih dapat melakukan impor.
Maka itu, Nampa mengharapkan pemerintah jeli dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri olahan domestik. Sebelum menentukan kuota impor, pemerintah semestinya sudah mendapat gambaran kebutuhan dan jenis daging sapi setiap perusahaan.
Nampa menganggap jatah impor daging sapi beku yang diberikan kepada para pengusaha telah berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan
Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau Olahan. Ketentuan lainnya adalah Permendag Nomor 24/M-DAG/PER/9/2011 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor
Hewan dan Produk Hewan.
"Dalam peraturan tersebut jelas, sebenarnya daging jenis secondary cuts termasuk dalam kebutuhan industri," kata Isyana. Akibat kejadian ini,
Nampa meminta pemerintah mengkaji kembali pemberian alokasi impor daging menjadi lebih spesifik.
Isyana menambahkan, mengacu pada peraturan tersebut, sebenarnya produsen daging olahan mendapat alokasi impor daging sapi jenis prime cuts dengan spesifikasi 65-95 CL. Tapi kenyataannya, tahun ini impor daging yang diberikan hanya untuk spesifikasi 65-85 CL.
Afan Anugroho, Wakil Ketua Umum Bidang Masyarakat Agro dan Pangan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia DKI Jakarta, menilai karut marut
kebijakan tata niaga sapi akan mengancam kelangsungan indutri pengolahan daging dalam negeri. "Bisa saja, perusahaan-perusahan yang sudah ada gulung tikar," ujar dia.
Di sisi lain, harga produk olahan daging Indonesia dibanding Malaysia masih kalah bersaing. Saat ini, harga sosis asal Malaysia Rp 40.000 per kg, sementara harga di dalam negeri Rp 90.000 per kg.
Harga produk olahan daging Malaysia lebih murah lantaran harga bahan baku daging sapi terjangkau. Produsen olahan daging di Malaysia membeli
daging sapi untuk bahan baku dari India senilai US$ 2 per kg, sementara Indonesia membeli lebih mahal dari Australia yakni US$ 4 per kg.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News