kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pelaku usaha optimis bisa maksimalkan perpanjangan fasilitas GSP dari AS


Selasa, 03 November 2020 / 20:50 WIB
Pelaku usaha optimis bisa maksimalkan perpanjangan fasilitas GSP dari AS
ILUSTRASI. Pekerja memantau bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz.


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perpanjangan pemberian fasilitas Generalized System of Preference (GSP) dari pemerintah Amerika Serikat (AS) mendapat sambutan positif dari kalangan pelaku usaha di Indonesia. Perpanjangan tersebut dinilai akan memberi ruang bagi pelaku usaha Indonesia untuk memaksimalkan fasilitas GSP yang diberikan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pemanfaatan fasilitas GSP oleh eksportir Indonesia masih berpotensi untuk terus ditingkatkan. 

Tidak tanggung-tanggung, ia bahkan menilai bahwa pemanfaatan GSP Indonesia bisa saja melesat sekitar 300% ke angka US$ 7,1 miliar sebagaimana yang ditargetkan oleh Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Muhammad Lutfi beberapa waktu lalu (2/11).

Hariyadi menilai, pasar AS masih sangat prospektif bagi para eksportir Indonesia. Katalis positif datang dari defisit neraca perdagangan AS-China yang sudah cukup lebar. Defisit tersebut, menurut Haryadi, akan mendorong AS untuk terus mencari pemasok alternatif dalam memenuhi kebutuhan barangnya ke luar China, termasuk Indonesia. Hal ini juga akan diperkuat oleh kepentingan AS untuk mengimbangi pengaruh ekonomi dan politik China di kawasan Asia Tenggara.

Mengutip data United States Trade Representative (USTR), impor AS terhadap barang dan jasa China tercatat senilai US$ 471,8 miliar  pada tahun 2019, sementara ekspor barang dan jasa AS ke China hanya mencapai US$ 163 miliar pada periode yang sama. Artinya, terdapat defisit sebesar US$ 308,8 miliar dalam neraca perdagangan AS-China pada tahun 2019.

“Neraca perdagangan AS dengan China itu gapnya kelebaran, jadi pasti mereka akan coba melakukan balancing,” kata Hariyadi kepada Kontan.co.id, Selasa (3/11).

Senada, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani juga mengatakan bahwa pemanfaatan fasilitas GSP masih bisa dimaksimalkan ke depannya. Hal ini didukung oleh tren pemulihan ekonomi AS yang diperkirakan positif. 

Baca Juga: Perpanjangan fasilitas GSP jadi angin segar bagi emiten dengan orientasi ekspor ini

“Terkait penggunaan GSP yang bisa dimaksimalkan ke depannya sebetulnya sangat banyak karena kita baru menggunakan sekitar 10%-20% dari total konsesi GSP yang diberikan untuk Indonesia,” ujar Shinta kepada Kontan.co.id, Selasa (3/11).

Meski begitu, peluang ini tidak hadir tanpa tantangan. Shinta berujar, sebagian barang yang mendapat fasilitas GSP merupakan barang-barang setengah jadi atau barang  antara yang diperlukan dalam proses produksi suatu barang jadi. Padahal, Indonesia selama ini lebih banyak mengandalkan ekspor bahan mentah (raw material) dan barang konsumer ke negara berjuluk Negeri Paman Sam tersebut.

“Karena itu kita harus mengekspor lebih banyak semi-processed input products ke AS,” imbuh Shinta.

Peluang yang sama juga diendus oleh emiten furnitur dan komponen bangunan, PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD). Corporate Secretary and Head of Investor Relations PT Integra Indocabinet Tbk, Wendy Chandra mengatakan, WOOD akan terus berupaya meningkatkan pangsa pasarnya di AS dengan memanfaatkan fasilitas GSP yang ada.

Menurutnya, fasilitas GSP yang dinikmati perusahaan dari fasilitas GSP membuat produk-produk perusahaan menjadi lebih kompetitif untuk bersaing di pasar AS. Apalagi, produk-produk pesaing dari China yang masuk ke pasar AS juga masih dikenai tarif perang dagang, tarif anti dumping, dan tarif anti subsidy.

“USTR sedang investigasi terkait  impor, perdagangan dan penggunaan kayu illegal, dan penyelidikan atas Tindakan, kebijakan, dan praktik Vietnam yang menyebabkan rendahnya nilai mata uang negara itu. Apabila hal ini terbukti, akan menyebabkan ekspor Vietnam ke AS dikenakan tarif,” jelas Wendy saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (3/11).

Sedikit informasi, GSP adalah program preferensi penurunan tarif bea masuk yang diterapkan secara unilateral oleh AS kepada negara berkembang, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat senilai US$ 2,61 miliar, atau setara 13,1% dari total ekspor Indonesia ke AS pada tahun tersebut. 

Selanjutnya: Fasilitas GSP dari Amerika Serikat jadi angin segar bagi ekspor produk tekstil

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×