kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.909   21,00   0,13%
  • IDX 7.211   70,15   0,98%
  • KOMPAS100 1.108   13,11   1,20%
  • LQ45 880   13,40   1,55%
  • ISSI 221   1,38   0,63%
  • IDX30 450   7,23   1,63%
  • IDXHIDIV20 541   6,43   1,20%
  • IDX80 127   1,62   1,29%
  • IDXV30 135   0,66   0,50%
  • IDXQ30 149   1,87   1,27%

Pelaku Usaha Sebut Sejumlah Tantangan Kembangkan Pembangkit Hijau di Indonesia


Minggu, 16 Juli 2023 / 17:04 WIB
Pelaku Usaha Sebut Sejumlah Tantangan Kembangkan Pembangkit Hijau di Indonesia
ILUSTRASI. Sejumlah pelaku usaha dari lintas sektor pembangkit hijau memberikan tantangan dalam pengembangan EBT


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pelaku usaha dari lintas sektor pembangkit hijau mengakui masih ada sejumlah tantangan besar yang dihadapi dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.

Beberapa di antaranya berupa kebijakan, pendanaan, hingga tarif listrik yang dinilai belum kompetitif.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menjelaskan, tantangan terbesar pengembangan PLTS di Indonesia berkaitan dengan kebijakan, khususnya perizinan dari PT PLN.

“Tantangan untuk PLTS juga datang dari kebijakan tarif listrik yang diatur cenderung rendah. Ini membuat pelaku usaha  mencari jalan agar membuat harga listrik yang dihasilkan PLTS lebih kompetitif dengan memotong margin mereka,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (16/7).

Adapun usaha memotong marjin hanya bisa dilakukan oleh pengembang PLTS besar saja karena tidak semua pengembang dan engineering, procurement, and construction (EPC) mampu melakukan itu.

Adanya tantangan tersebut, pelaku usaha menyiapkan sejumlah strategi untuk terus bertahan.

Baca Juga: Pemanfaatan EBT Indonesia Masih Minim, Kementerian ESDM Beberkan Tantangannya

Fabby menjelaskan, beberapa EPC besar memilih untuk terus berinovasi, memangkas biaya, mengelola inventori dengan hati-hati. Selain itu bermitra dengan investor dengan pendanaan murah dan memangkas marjin.

Ketua AESI menyatakan, untuk terus menumbuhkan pengembangan PLTS di dalam negeri, pihaknya mengusulkan supaya  pemerintah memberikan pendanaan untuk EPC kecil dengan bunga yang kompetitif.

“Selain itu, ada fasilitas kredit lunak kepada konsumen rumah tangga dan bisnis kecil untuk memasang PLTS, perizinan yang mudah, cepat, dan proses yang transparan,” tandasnya.

Tantangan yang dihadapi oleh pelaku usaha di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geothermal cukup berbeda.

Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Prijandaru Effendi menjelaskan tantangan utama yang dihadapi pelaku usaha geothermal adalah keekonomian proyek atau harga jual listrik sesuai keekonomian proyek.

“Maka itu, kami banyak meminta insentif-insentif dari pemerintah, melakukan efisiensi, dan mencari terobosan teknologi untuk memperkecil risiko dan mengurangi biaya,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Sejatinya, panas bumi sudah mendapatkan banyak insentif dari pemerintah dan pelaku usaha geothermal sangat berterima kasih.

Namun, Prijandaru mengungkapkan, masih ada beberapa insentif yang sedang mereka usulkan seperti pembebasan pungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) saat melakukan eksploitasi.

Board of Director International Geothermal Association (IGA), Surya Darma berharap pemerintah membuka ruang negosiasi harga listrik dari panas bumi dengan mempertimbangkan nilai keekonomian proyek. Hal ini dilakukan agar daya tarik investasi sektor panas bumi mulai muncul kembali.

Baca Juga: Sri Mulyani Tegaskan Transisi Energi Harus Juga Diikuti Transformasi PLN

“Hal ini diperlukan mengingat peran panas bumi dalam transisi energi menuju net zero emission (NZE) sangatlah besar,” ujarnya saat dihubungi terpisah.

Terkait pengaturan tarif listrik panas bumi, lanjutnya, jika berkaca pada kesuksesan negara lain, ada beberapa  model yang diterapkan termasuk adanya Feed in Tarif (FIT).

Bahkan beberapa negara memberikan insentif agar pemanfaatan panas bumi dapat dipercepat termasuk insentif fiskal dan insentif non fiskal.

“Kita kesulitan mendapatkan sumber dana pembangunan PLTP jika tidak mendapatkan dukungan dari pihak swasta karena keterbatasan kemampuan pemerintah,” terangnya.

Untuk membangun PLTP dan fasilitas hulunya dengan kapasitas sampai 7 GW dibutuhkan dana sampai US$ 35 miliar. Lantas dengan adanya regulasi yang menarik investasi merupakan sebuah upaya yang sangat diperlukan.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang menilai,  dalam pengembangan pembangkit hijau lembaga pendanaan membutuhkan project return dan bankability dari suatu proyek.

“Suatu proyek bisa lebih bankable jika skala ekonominya didapatkan, tapi kalau kecil, risk return profilenya belum cocok,” ujarnya.

Untuk menanggulangi permasalahan tersebut dan bertahan, pelaku usaha berusaha mendapatkan kepastian komersial dari Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL). Kemudian mencari efisiensi dari biaya proyek supaya tingkat Return on Investment (RoI) tidak terlalu kecil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×