kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pembangkit batubara diterpa isu negatif, pengembang swasta resah?


Jumat, 09 Februari 2018 / 18:16 WIB
Pembangkit batubara diterpa isu negatif, pengembang swasta resah?
ILUSTRASI. PLTU


Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Rizki Caturini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menyumbang 60% rasio elektrifikasi ketenagalistrikan di Indonesia. Maka dari itu, pembangkit yang berbahan bakar batuara ini masih menjadi primadona di Indonesia. Namun belakang, ada saja kendala yang membuat pengembangan PLTU menjadi tersendat.

Misalnya, saja isu lingkungan. Para aktivis lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Break Free Coal Indonesia, seperti Greenpeace Indonesia, Walhi, Jaringan Tambang (Jatam), Auriga Nasional meminta supaya pemerintah menghentikan pembangunan Sembilan PLTU di Jawa - Bali.

Anggapannya, jika itu terus dibangun, maka reserve margin listrik yang ada di Pulau Jawa akan membengkak dari yang saat ini sekitar 30% menjadi 71%. Juga koalisi itu meminta supaya Sembilan PLTU itu tidak masuk ke dalam revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018 – 2026.

Selain isu itu, saat ini pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan merevisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (PermenLH) No. 21 tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi (BME) Bagi Emisi Tidak Bergerak Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Termal akan direvisi.

Kedua isu itu membuat resah para pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP). Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Ali Herman Ibrahim menguraikan, sesuai dengan kebijakan jangka panjang pemerintah tentang energi, bahwa pengembangan PLTU harus tetap berjalan.

Pasalnya, kata Ali, kebijakan pemerintah saat ini mengacu pada security dan sustainability of supply, efisiensi dan kemampuan serta ramah lingkungan. “Masih ada pembangunan pembangkit dengan fosil fuel (batubara dan gas) hal itu sudah sesuai dengan kebijakan yang ada,” terangnya kepada Kontan.co.id, Jumat (9/2).

Menilai reserve margin yang akan membengkak itu, reserve margin merupakan power balance, di mana setiap ada penyediaan disesuaikan dengan turun naiknya permintaan.

Penyediaan pembangkit harus mengikuti tumbuhnya permintaan tersebut. Permintaan ke depan harus diprediksi, itu termasuk komponen utama dalam perencanaan,” ungkapnya.

Sementara mengenai Baku Mutu Emisi yang akan direvisi, perusahaan listrik swasta akan terbebani untuk PLTU baru yang akan dibangun. Akan ada pengaruh terhadap tambahan biaya pembangunan PLTU melalui teknologi baru yang sesuai dengan BME yang baru.

“Untuk mengurangi Sox (Sulfur Dioksida) dan NOx (Nitrogen Oksidan), perlu Focus Group Discusion (FGD) dan Noc Scrubber. Kira-kira bertambah 3% - 5% dan bertambah biaya operasi kira-kira 1,5 %,” terangnya.

Atas hal ini, ia meminta pemerintah untuk berinisiatif mengundang para pelaku usaha khususunya IPP untuk berdiskusi. Supaya, IPP tahu asal muasal angka-angka yang diberlakukan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×