Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di era digitalisasi yang semakin masif, peranan jaringan infrastruktur telekomunikasi semakin vital. Maka, perlu ada perluasan pembangunan infrastruktur ini.
Maka, muncul pertanyaan, siapa yang bertanggungjawab atas pembiayaan pembangunan infrastruktur tersebut? Apalagi dengan adanya kisruh Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) di DKI Jakarta dan pengenaan sewa oleh Pemkot Surabaya terhadap penggelaran jaringan telekomunikasi.
Henry D. Hutagaol, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia menjelaskan, merujuk pada regulasi yang ada, sejatinya SJUT merupakan tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah. Ini sebagai bagian pembangunan infrastrktur layanan pubik. Kewajiban tersebut tertuang dalam PP 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024.
Baca Juga: Emiten Telekomunikasi Siap Mendulang Lonjakan Trafik Sepanjang Bulan Ramadan
Menurut Henry, banyak pemda yang membuat penafsiran berbeda terhadap regulasi. Termasuk regulasi mengenai SJUT. Pemda menganggap SJUT sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dalam jangka pendek.
“Pemda beranggapan, yang bertugas membangun SJUT adalah pihak BUMD atau swasta. Jika dibangun oleh BUMD atau swasta maka pengguna diwajibkan membayar dengan skema sewa,” kata Henry, saat diskusi yang diadakan Universitas Gadjah Mada (UGM), beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Topang Ekonomi di 3T, Pembangunan BTS dan Transformasi Digital Jangan Sampai Mandek
Jika pemda ingin menetapkan tarif harga pemanfaatan infrastruktur pasif menurut Henry, harus mempertimbangkan efisiensi nasional, kondisi pasar, dampak positif keekonomian, dan kepentingan masyarakat.
Agar aturan di daerah seperti revisi Perda mengenai SJUT ini tidak tumpang tindih dengan regulasi di atasnya, menurut Henry pemerintah pusat harus melakukan harmonisasi dan sinkronisasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News