kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pembatasan Pertalite Harus Menyeluruh Untuk Dukung Pengembangan Kendaraan Listrik


Rabu, 29 Juni 2022 / 23:09 WIB
Pembatasan Pertalite Harus Menyeluruh Untuk Dukung Pengembangan Kendaraan Listrik
ILUSTRASI. Warga menunjukan aplikasi MyPertamina saat mengisi bahan bakar pertalite di SPBU Pertamina Abdul Muis, Jakarta, Rabu (29/6/2022).


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat berpesan kebijakan pembatasan Pertalite ini juga harus dibuat secara menyeluruh agar memberikan dampak jangka panjang yang positif dan mendukung industri lain, khususnya kendaraan listrik.

Seperti diketahui dalam menyalurkan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi ada aturannya, baik dari sisi kuota atau jumlah maupun dari sisi segmentasi penggunanya. Saat ini, segmen pengguna Solar subsidi sudah diatur, sedangkan Pertalite segmentasi penggunanya masih terlalu luas.

Pasca-naiknya harga Pertamax menjadi Rp 12.500 per liter banyak masyarakat yang bermigrasi ke Pertalite. Akibatnya tingkat konsumsi BBM Pertalite melonjak, padahal penyalurannya terbatas.

Saleh Abdurrahman, Anggota Komite BPH Migas menjelaskan, konsumsi Pertalite serapannya sudah di atas 50% sehingga jika tidak dilakukan pengendalian maka diproyeksikan realisasinya dapat di atas kuota yang telah ditentukan. Hingga Juni 2022 konsumsi Pertalite mencapai 57,54% atau setara 13,26 juta kilo liter.

Baca Juga: Kuota Pertalite Bisa Jebol, BPH Migas Minta Masyarakat Ikut Atasi Tingginya Subsidi

Dengan adanya persoalan tersebut, BPH Migas sedang dalam proses merevisi aturan Perpres No 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Dalam draft revisi, pihaknya akan memerinci siapa saja konsumen yang berhak membeli Pertalite. Intinya, orang kaya tidak boleh membeli Pertalite.

Dia mengungkapkan dalam draft revisi Perpres Nomor 191 tahun 2014 pengguna bensin Pertalite alah kendaraan plat hitam yang kapasitasnya di bawah 2.000 cc. Artinya, mobil dan motor dengan kapasitas di atas 2.000 cc tidak diperbolehkan meminum Pertalite.

Namun di sisi lain, saat ini pemerintah juga sedang menjalankan program kendaraan baru yang harganya ekonomis serta ramah lingkungan atau biasa dikenal Low Cost Green Car (LGCG) di mana rata-rata kubikasi mobil tersebut di bawah 2.000 cc.

Sehingga bagi sejumlah pihak menilai kebijakan pembatasan Pertalite ini masih bersifat parsial karena pengguna mobil LGCG masih dapat membeli bensin dengan kadar oktan (RON) 90.

Saleh memberikan catatan masyarakat yang mampu membeli mobil mahal mestinya juga mampu membeli BBM Non-Subsidi.

“Jadi harap kami by nature teman-teman yang menggunakan mobil kelas baru itu memang direkomendasikan oleh pabrikan mereka sendiri untuk menggunakan bahan bakar yang lebih baik, beroktan tinggi sehingga lebih irit dan ramah lingkungan,” ujarnya.

Associate Director BUMN Research Group LM (Lembaga Management) Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto mengatakan, perlu ada kebijakan yang sifatnya komprehensif sehingga tidak hanya dibuat satu sektor sedangkah sektor lain tidak dilibatkan. Akibatnya bisa kontradiktif.

“Jadi dibuatkan saja ke depan roadmap yang lebih jelas kapan kemudian misalnya kaitannya dengan mobil listrik terutama segmen yang di bawah ini akan melakukan go to market secara lebih masif,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.

Baca Juga: Kemenkeu: Penyaluran Subsidi BBM Tepat Sasaran Bisa Tekan Beban Negara

Pasalnya, saat ini sudah ada beberapa mobil listrik di level low end yang sudah mulai banyak masuk ke Indonesia. Maka dari itu, menurut Toto dalam proses transisi ini dibuat peta jalan yang kemudian memfasilitas pihak-pihak terkait agar dapat berkoordinasi dengan lebih jelas.

Toto menilai, pihak Kementerian Perindustrian sebagai policy maker di bidang industri dan Kementerian ESDM harus duduk bersama supaya bisa lebih sinkron dalam melakukan harmonsasi kebijakan. “Jadi tidak jalan masing-masing,” kata Toto.

Di lain sisi, lanjut Toto, pemerintah bisa memberikan insentif sehingga memberikan motivasi bagi masyarakat yang saat ini sebagian besar mengonsumsi bahan bakar fosil  ke depannya secara bertahap bisa mulai beralih ke energi lebih bersih misalnya kendaraan listrik.

“Melalui inestif tersebut proses transisi ini tidak merugikan bagi pengguna mobil saat ini dan menumbuhkan demand cukup baik di sisi kendaraan listrik itu sendiri. Koordinasi aja perlu dilakukan,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×