Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Pemerintah Indonesia tidak lagi tunduk kepada standar minyak sawit yang diminta negara asing. Ke depan, pemerintah menghentikan sementara waktu atau moratorium standar CPO dari Uni Eropa.
Pemerintah juga ingin lima perusahaan yang menandatangani Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) mundur dari komitmen itu. Pasalnya petani-petani kecil belum mampu mengadopsi praktik-praktik budidaya perkebunan sebagaimana pemahaman negara barat tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan, sudah disepakati bahwa pemerintah akan hold standar negara barat yang merugikan Indonesia.
Langkah itu ditempuh lantaran Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Malaysia telah membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOP).
"Ini merupakan kelompok baru produsen minyak sawit yang dibentuk Indonesia dan Malaysia yang akan menggantikan standardisasi tentang sustainability yang diusung Uni Eropa," ujar Rizal, Rabu (21/10).
Rizal menandaskan, pemerintah ingin perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit besar mundur dari komitmen yang dibuat dalam KTT perubahan iklim tahun lalu. Pasalnya hal itu membebani petani-petani kecil yang tidak mampu mengadopsi praktik-praktik kehutanan berkelanjutan yang dianut negara Barat.
Indonesia adalah negara besar,sehingga tidak pantas diatur-atur oleh pihak luar. Apalagi standardisasi yang mereka terapkan itu tak mungkin bisa diikuti oleh petani kita.
"Perlu dicatat, kita ingin menyelamatkan 4 juta petani sawit dan Malaysia punya 400.000 petani sawit," kata Rizal.
Indonesia merupakan produsen dan eksportir terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Sawit, kata Rizal, salah satu pendorong utama pembangunan ekonomi, dan ribuan petani kecil menghasilkan sekitar 40% dari hasil produksi kelapa sawitnya.
"Indonesia dan Malaysia telah sepakat menyelaraskan dan menggabungkan standar-standar kami," ujar Rizal.
Indonesia dan Malaysia, yang menghasilkan 85% dari hasil kelapa sawit dunia, sejak Agustus telah membahas rencana untuk membentuk organisasi antar-pemerintah yang disebut Dewan Negara-negara Produsen Kelapa Sawit.
Langkah itu muncul setelah perusahaan-perusahaan kelapa sawit besar, seperti Cargill Indonesia, Golden Agri-Resources dan Wilmar International, Musim Mas, dan Asian Agri, menandatangani komitmen Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) menyusul tekanan untuk mengadopsi praktik-praktik yang lebih baik.
Rizal mengatakan, IPOP melindungi kepentingan pasar minyak sayur negara-negara maju. Menurutnya, CPOP akan menetapkan standar yang akan mempertimbangkan kesejahteraan petani kecil.
"Pembeli-pembeli kelapa sawit besar yaitu India dan China akan kami lobi untuk menerima standar baru tersebut," ujarnya.
Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani menjelaskan, standar dan aturan yang dibuat dalam IPOP jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia.
"Pemerintah harus ambil langkah tegas terhadap IPOP. Jika perlu, panggil manajemen dan deklarator IPOP," paparnya.
Dia menilai terjadi perbedaan persepsi yang mendasar terkait standar atau kriteria IPOP dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Dia mencontohkan, dalam IPOP dilarang menampung tandan buah segar (TBS) atau CPO dari kebun sawit hasil deforestasi maupun dari lahan gambut.
"Nah deforestasi ini kan beda persepsinya. Dalam IPOP tidak dibolehkan, tapi tidak mungkin Indonesia kembangkan sawit tanpa mengkonversi hutan, beda pandangan," ujarnya.
Selain itu, lanjut Achmad, sawit dari lahan gambut diperbolehkan di aturan di Indonesia jika batas ketinggiannya 3 meter. Sementara di IPOP dilarang. "Ini yang harus dicari solusi bersama demi kepentingan petani sawit," paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News