Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi panas bumi dinilai sangat memungkinkan untuk mendorong target Net Zero Emissions (NZE) atau netralitas karbon. Pemerintah pun dinilai perlu memprioritaskan pemanfaatan panas bumi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan panas bumi merupakan elemen penting yang dimiliki Indonesia untuk mencapai NZE.
"Dalam rangka mencapai NZE, seluruh potensi energi terbarukan, termasuk panas bumi harus dikembangkan dengan optimal," kata Fabby dalam keterangan resmi, Rabu (14/9).
Baca Juga: Genjot Energi Hijau, Pertamina Menyiapkan Dana Hingga US$ 11 Miliar
Fabby menambahkan, sangat wajar pemerintah memberi perhatian serius untuk pengembangan panas bumi karena berbagai alasan. Apalagi pemerintah memiliki peta jalan (roadmap) pengembangan panas bumi hingga mencapai kapasitas 7 Gigawatt (GW) pada 2030.
“Panas bumi juga tidak dianaktirikan, karena sejak 15 tahun lalu, pengembangan panas bumi selalu jadi prioritas dan berbagai instrumen mitigasi risiko hulu dibuat oleh Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Masih menurut Fabby, saat ini ada fasilitas penurunan risiko eksplorasi panas bumi, yaitu Geothermal Resources Risk Management (GREM) yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Belum lagi pendanaan infrastruktur panas bumi yang juga dikelola PT SMI sebesar Rp3,7 triliun yang berasal dari dana APBN dan hibah Bank Dunia.
"Dibandingkan dengan Energi Terbarukan lainnya, upaya memberikan dukungan panas bumi jauh lebih besar," imbuh Fabby.
Fabby pun menilai pengembangan panas bumi jarus dilakukan seluruh pelaku usaha termasuk PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina Power Indonesia, subholding Power and New Renewable Energy Pertamina.
Baca Juga: Transisi Energi: Fokus di Beban Dasar Dulu Sebelum Bicara Diversifikasi Energi Hijau
"Dalam hal ini prospek bisnis PGE sangat bagus," ujar Fabby.
Namun, tambah Fabby, PGE tetap harus didukung dan diperkuat agar target yang dicanangkan bisa tercapai. Penguatan PGE lebih pada kemampuan dalam mengelola risiko. Apalagi, pengembangan panas bumi dinilai tak berbeda jauh dengan sektor migas yang tinggi risiko.
Fabby menyarankan agar PGE mempersingkat waktu pengembangan lapangan panas bumi dan pembiayaan untuk investasi. "Termasuk bermitra serta mengeksplorasi pemanfaatan listrik panas bumi untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, misalnya green hydrogen," ujarnya.
Adapun, hilirisasi panas bumi menjadi salah satu fokus PGE. Indonesia berpotensi menjadi pusat industri panas bumi berskala global di masa depan berdasarkan besarnya potensi yang dimiliki. Untuk mencapai target tersebut harus ada upaya agar pemanfaatan energi panas bumi lebih optimal.
Green hydrogen yang menjadi produk lanjutan panas bumi, pengembangannya bisa memberikan efek berantai luar biasa. Namun pengembangannya membutuhkan dana tidak sedikit.
Baca Juga: Potret Ekonomi Hijau di Indonesia: Perlu Dukungan Regulasi dan Pembiayaan
Direktur Utama PGE Ahmad Yuniarto mengatakan, risiko dalam pengelolaan proyek panas bumi tidak hanya pada fase eksplorasi. Ketika memasuki tahapan konstruksi PLTP dan bahkan pada fase operasional lapangan dan PLTP, risiko malah meningkat.
“Risiko ini terbagi atas risiko surface maupun sub-surface,” ujarnya.
Yuniarto menjelaskan, energi panas bumi diharapkan menjadi pilar utama dalam menyongsong kebutuhan akan EBT di masa datang, termasuk mendukung program NZE dan menjadi pemicu multiplier effect terhadap pengembangan green economy. Apalagi energi panas bumi merupakan satu-satunya EBT yang bisa mensuplai energi secara kontinu dan dapat dijadikan sebagai beban dasar (baseload power) dalam sistem ketenagalistrikan dengan tingkat ketersediaan (availability factor) yang tinggi.
Saat ini, PGE mengelola 13 WKP dengan kapasitas terpasang PLTP sebesar sekitar 1,8 GW, dimana 672 MW dioperasikan dan dikelola langsung oleh PGE dan 1.205 MW dikelola dengan skenario Kontrak Operasi Bersama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News