Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang merancang skema bagi hasil minyak (split) untuk menarik minat investor di sektor hulu migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Indonesia.
Skema baru gross split ini akan menawarkan porsi bagi hasil yang lebih besar bagi KKKS, terutama di wilayah-wilayah kerja dengan produksi marginal.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengungkapkan bahwa skema ini dirancang untuk memudahkan dan memperbesar bagi hasil, tergantung pada tingkat kesulitan lapangan.
"Kalau lapangannya sudah marginal, ya bagaimana mau diangkat lagi. Tapi kalau ada potensinya. Yang penting kita bisa berbagi," kata Menteri Arifin saat ditemui, Jumat (9/8/2024).
Tambahan split bagi kontraktor diharapkan dapat menarik minat investasi, khususnya di daerah dengan produksi yang sangat marginal.
Skema ini juga bertujuan untuk mempercepat pengembangan lapangan migas marginal dan berisiko tinggi.
Baca Juga: Kementerian ESDM Siapkan Kebijakan Menarik untuk Menggaet Investasi Hulu Migas
Pemerintah juga berencana membuat regulasi investasi yang lebih menarik dan fleksibel bagi para investor asing, agar lebih mudah diadaptasi dibandingkan regulasi saat ini yang dinilai kaku.
"Jangan menerapkan secara lurus. Nah itu yang menyebabkan daya tariknya tuh jadi berkurang. Kita lebih bagus tuh fleksibel. Mana yang bisa, mana yang ini. Jadi tergantung dari tingkat kemudahan kesulitan lapangannya," ungkapnya.
Kontan mencatat bahwa Peraturan Menteri (Permen) ESDM New Gross Split akan menyederhanakan komponen variabel dari 10 komponen menjadi hanya 3 komponen, yaitu jumlah cadangan, lokasi cadangan, dan ketersediaan infrastruktur.
Komponen progresif juga akan disederhanakan dari 3 komponen menjadi 2 komponen, yaitu harga minyak bumi dan harga gas bumi.
Berikut 11 poin utama perubahan yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 yang akan diatur dalam Permen New Gross Split:
1. Penyederhanaan komponen variabel dari 10 menjadi 3 komponen.
2. Penyederhanaan komponen progresif dari 3 menjadi 2 komponen.
3. Penyeimbangan nilai bagi hasil dasar (base split).
4. Penyeimbangan nilai total bagi hasil secara keseluruhan.
5. Perubahan formula komponen progresif harga minyak dan gas bumi.
6. Pemberian batas nilai sliding scale pada parameter komponen progresif harga minyak dan gas bumi.
7. Pemisahan unsur kewajiban TKDN KKKS dari komponen bagi hasil.
8. Pemisahan Terms & Conditions antara sumber daya Migas Konvensional dan Non Konvensional.
9. Penambahan komponen variabel tetap khusus untuk sumber daya Migas Non Konvensional.
10. Penyempurnaan penentuan nilai parameter berdasarkan metode statistik dari data realisasi 5 tahun terakhir.
11. Pemindahan komponen variabel dan progresif dari lampiran Permen ke Keputusan Menteri untuk kemudahan penyesuaian parameter berdasarkan data realisasi di masa depan.
Kementerian ESDM menyebut bahwa peraturan baru gross split ini telah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo dan tengah dilakukan koordinasi dengan SKK Migas untuk sosialisasi terkait mekanisme baru ini.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan bahwa pemerintah sedang menyiapkan kebijakan agar investasi di sektor hulu migas menjadi lebih menarik.
Salah satunya adalah revisi PP 27 Tahun 2017 dan PP 53 Tahun 2017 terkait perpajakan di sektor ini.
Namun, iklim investasi industri hulu migas di Indonesia masih kurang menarik bagi investor.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan bahwa pemerintah telah mengidentifikasi 11 isu utama yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan daya tarik investasi di sektor ini.
Baca Juga: Kementerian ESDM Siapkan Kebijakan Agar Investasi Hulu Migas Menarik Minat Investor
Masalah utama yang menghambat investasi di hulu migas adalah tumpang tindih perizinan dan kewenangan antar kementerian serta lembaga yang berbelit-belit.
Selain itu, permasalahan seperti persetujuan izin lingkungan, peraturan terkait ruang laut dan pertanian, perpajakan migas yang kurang kondusif, hingga kurangnya dukungan dari sebagian pemerintah daerah turut menjadi hambatan.
Riset dari lembaga independen Fraser Institute mengungkapkan bahwa skor Investment Attractiveness Index Indonesia hanya mencapai 45,17 pada tahun 2023, menempatkan Indonesia di peringkat 56 dari 86 negara.
Padahal, pada tahun 2019, skor Indonesia berada di level 73,09 dan menempati posisi 27 dari 76 negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News