Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menunjuk PT PLN (Persero) untuk segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) berkapasitas 40 megawatt (MW) di Provinsi Maluku dinilai perlu mempertimbangkan aspek, termasuk mengenai besarnya investasi dan dampak terhadap lingkungan.
Sebelumnya, Bahlil juga mengungkap bahwa PLTP 40 MW di Maluku ini telah masuk dalam salah satu proyek Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2025-2034.
Terkait hal ini, Wishnu Try Utomo selaku Direktur Advokasi Tambang, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan besarnya biaya investasi PLTP harus dipertimbangkan oleh pemerintah sebelum menggenjot pembangunan PLTP dalam negeri.
"Biaya (PLTP) jauh lebih mahal dibanding pembangkit energi terbarukan yang lain. Biaya investasi PLTP itu sekira US$ 4-7 juta per MW. Ini kalau kita bandingkan dengan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), tidak sampe US$ 1 juta per MW," ungkap Wishnu saat dihubungi, Senin (07/04).
Baca Juga: PLTP Lumut Balai Unit 2 Beroperasi Mei 2025, Lumut Balai Unit 3 Sudah Dipersiapkan
Sehingga, jika pemerintah melalui PLN ingin membangun PLTP dengan daya 40 MW, maka dana investasi yang dibutuhkan kurang lebih US$ 160 - 280 juta.
Wishnu juga menjelaskan bahwa biaya investasi yang lebih mahal ini, nantinya akan mengerek naik harga listrik yang harus dibayar oleh masyarakat.
"Pemerintah seharusnya membuat pembangkit energi terbarukan yang kecil-kecil saja, tetapi ada di banyak tempat yang melibatkan langsung masyarakat luas. Agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen," jelas dia.
Lebih jauh, dirinya juga menyebut dalam laporan Celios bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berjudul Geothermal Energy: Economic and Environmental Impacts, 5 Maret 2024 silam, 16 dari 19 PLTP yang saat ini beroperasi di Indonesia diketahui bermasalah dari segi ekonomi dan lingkungan.
"Kerugian ini mencakup ekonomi dan lingkungan, hilangnya lahan produktif, limbah, ditambah munculnya penyakit pernafasan karena masyarakat sekitar menghisap gas buangan PLTP dalam bentuk Hidrogen Sulfida (H2S). Ini perlu dibenahi dulu," tambahnya.
Meski begitu, Wishnu menyebut jika dalam RUPTL 2025-2034 pemerintah ingin menambah 71 Giga Watt (GW) pembangkit listrik, sektor EBT lain yang minim resiko dan rendah modal dapat dijadikan solusi.
"Pembangkit energi Surya, Bayu, dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di banyak titik, solusinya. Kapasitas ketiganya, saya rasa lebih dari cukup untuk mengganti energi panas bumi di Indonesia," jelasnya.
Baca Juga: PLTP Sorik Marapi Selesaikan Uji Kapasitas Pembangkit Unit-5 Sebesar 33 MW
Hal senada, utamanya terkait besarnya modal pembangunan PLTP juga diungkap Pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti. Menurut dia, akan sulit bagi PLN membangun PLTP tanpa adanya investasi dari asing.
"Untuk membuat PLTP, biaya investasi yang harus disiapkan tergantung dengan jenis teknologi PLTP yang digunakan. Teknologi ini sangat tergantung dari sifat risiko sumur panas bumi yang ada di daerah target involved investasi," katanya.
Dia menambahkan jika menghitung berdasarkan studi kasus di Spanyol menggunakan teknologi Flash and Steam Dry Power Plant yang merupakan salah satu teknologi terkini. Total biaya ideal untuk PLPT dengan daya 25-30 MW bisa berada di angka US$ 400-500 juta.
"Kalau kita hitung pakai kurs sekarang Rp 17000 per 1 USD jadi biayanya Rp 8,5 triliun untuk 25-30 MW," tambahnya.
Dengan besarnya biaya investasi, skema joint venture atau usaha patungan dapat menjadi pilihan pengembangan PLTP oleh PLN.
"Jadi melihat dana sebesar itu harusnya dengan joint venture dan idealnya dengan investasi asing agar telnologinya lebih efisien," tutupnya.
Baca Juga: PLN Buka Suara Soal Instruksi Pembangunan PLTP 40 MW di Maluku
Selanjutnya: Menu Diet Sehat Seminggu yang Dapat Anda Coba Konsumsi
Menarik Dibaca: Menu Diet Sehat Seminggu yang Dapat Anda Coba Konsumsi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News