Reporter: Asnil Bambani Amri |
JAKARTA. Pemerintah akhirnya menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada kakao bubuk (SNI 3747:2009)akan berlaku wajib oleh Regulator (Kementrian Perindustrian).
"Kebijakan itu sudah di mulai tanggal 4 Mei 2010 sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No. 157/M-IND/PER/11/2009," kata Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN).
Alasan yang paling utama berlakunya SNI wajib bubuk kakao tersebut adalah untuk menjaga kualitas dan mutu bubuk kakao yang berdar di dalam negeri.
"Kami menemukan adanya kakao bubuk yang bahan bakunya berasal dari Shell (kulit) biji kakao," jelas Bambang.
Dalam penjelasan Bambang, dalam kulit kakao tersebut terdapat kandungan OTA (Ochratoxin A) yang tidak dapat dikonsumsi manusia karena akan berdampak bagi kesehatan. "Kandungan OTA itu dapat menyebabkan penyakit kronis," jelas Bambang.
Dari hasil pengujian Lab Internal AIKI (Asosiasi Industri Kakao Indonesia) menyatakan pengujian FFA shell sangat tinggi dengan kadar lemak kurang dari 10,0 % b/b sedangkan pada SNI dipersyaratkan minimum 10,0 % b/b.
Sementara hasil pengujian PPMBEI Kemendag kandungan mikroba (total plate) 2,3 x 105 koloni/gram melebihi ambang batas mutu SNI 5 x 103 koloni/gram dan hasil uji menunjukkan kadar lemak 8,74% b/b tidak memenuhi syarat mutu pada SNI minimum 10,0% b/b.
Dari sumber informasi AMPER (Aliansi Masyarakat Peduli Energi Rakyat) tanggal 3 Maret 2009 bahwa jumlah produksi kakao bubuk yang berasal dari kulit kakao diperkirakan sebesar 550 MT/bulan atau 6600 MT/tahun.
Dengan adanya SNI wajib tersebut, SNI kakao bubuk secara wajib parameter Kulit (shell) dipersyaratkan maksimum hanya 1,75 %.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News