Reporter: Handoyo | Editor: Fitri Arifenie
JAKARTA. Perajin produk kayu skala usaha kecil menengah (UKM) bisa sedikit berlega hati. Pasalnya, kewajiban penggunaan sertifikat sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) untuk produk ekspor yang sedianya diberlakukan pada 1 Januari 2014 ditunda. Pemerintah memutuskan menunda kewajiban tersebut selama satu tahun.
Bachrul Chairi, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kementrian Perdagangan (Kemdag) mengatakan kebijakan bebas SVLK tersebut hanya berlaku untuk ekspor produk kayu di luar Uni Eropa. Untuk ekspor kayu ke Uni Eropa, Bachrul bilang, pelaku UKM wajib menggunakan SVLK."Kebijakan ini baru berlaku mulai 1 Januari 2014," kata Bachrul, Senin (30/12).
Untuk melandasi kebijakan tersebut, Kemdag melakukan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang ketentuan ekspor produk industri kehutanan. Sayang, Bachrul tidak merinci revisi terhadap Permendag tersebut.
Dari keseluruhan nilai ekspor produk kayu Januari-September 2013, kontribusi perusahaan UKM mencapai 30% atau sekitar US$ 900 juta.
Terkait dengan Uni Eropa, persyaratan ekspor produk kayu tak bisa diperlonggar lagi. Sebab, Indonesia dan Uni Eropa telah menandatangani kesepakatan kayu legal alias Forest Law Enforcement, Governance and Trade - Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA) pada akhir September lalu. Dengan demikian hanya kayu legal yang bersertifikat SVLK yang boleh masuk ke Uni Eropa.
Produk kayu yang terbang ke Uni Eropa masih relatif kecil. Kemdag mencatat nilai ekspor produk kayu periode Januari hingga September 2013 mencapai US$ 3,5 miliar. Sementara untuk ekspor produk kayu ke Uni Eropa hanya sekitar US$ 511 juta. Ekspor produk kayu paling besar adalah ke pasar di Jepang, Amerika Serikat dan China.
Menurut proyeksi Kemdag, nilai ekspor produk kayu di luar pulp dan kertas tahun ini mencapai US$ 4,6 miliar.
Permintaan industri
Menurut Bachrul, kebijakan tersebut diambil berdasarkan permintaan dari industri perkayuan di dalam negeri. Saat ini, masih banyak pelaku UKM yang belum memiliki sertifikasi SVLK.
Adapun jumlah perusahaan di sektor perkayuan mencapai 3.500. Namun, dari jumlah keseluruhan tersebut, hanya sekitar 5% atau 637 pengusaha saja yang saat ini telah memiliki sertifikasi SVLK. Sedangkan untuk sebagian besar pengusaha belum memiliki sertifikasi SVLK.
Bachrul mengharapkan, dengan penundaan selama 12 bulan, para pelaku skala UKM bisa seluruhnya memiliki sertifikasi SVLK. Dengan demikian, ekspor produk kayu asal Indonesia menjadi semakin kompetitif di pasar.
Ambar Tjahjono, Ketua ASEAN Furniture Industry Council (AFIC) mengatakan masih lambannya para pelaku usaha di sektor perkayuan khususnya skala kecil untuk mendapatkan sertifikasi SVLK lantaran izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan birokrasi yang membutuhkan biaya yang cukup besar.
Menurut Ambar, pemerintah jangan terlalu lama untuk menunda sertifikasi SVLK tersebut. Ia bilang, enam bulan cukup untuk membuat seluruh UKM produk kayu bersertifikasi SVLK. Asalkan, pemerintah juga ikut aktif membantu dalam pengurusan sertifikasinya.
Menurut Ambar, pemerintah harus konsisten dalam menerapkan SVLK, terutama untuk ekspor ke Uni Eropa. "Karena itu (SVLK) merupakan senjata untuk ekspor produk kayu dari Indonesia," ujar Ambar. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News