kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Penandatanganan kerjasama East Natuna batal


Senin, 03 Oktober 2016 / 05:36 WIB


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Target pemerintah untuk segera mempercepat pengembangan proyek migas di kawasan Natuna belum juga terealisasi. Sedianya, penandatanganan kontrak kerjasama untuk blok East Natuna antara pemerintah dan Konsorsium PT Pertamina (persero), ExxonMobil, dan PTT EP batal dilakukan pada September 2016 lalu.

Direktur Pembinaan Hulu Migas Kementerian ESDM, Tunggal menyebut alasan batalnya penandatanganan kontrak kerjasama blok East Natuna karena konsorsium masih memerlukan waktu untuk memeriksa adanya cadangan minyak yang ada di blok tersebut. Pasalnya sampai saat ini baru dilakukan pengeboran satu sumur untuk membuktikan adanya cadangan minyak.

Maka jika kontrak kerjasama ditandatangani, konsorsium blok East Natuna harus segera melakukan komitmen pekerjaan produksi minyak. "Mereka tidak mau kami push. Oke, ditandatangani tapi besok lakukan pekerjaan, mereka belum mau," kata Tunggal pada Jumat (30/9).

Menurut Tunggal, belum berkomitmennya konsorsium untuk proyek East Natuna bukan lantaran keekonomian lapangan tetapi kepastian adanya cadangan minyak di blok tersebut. "Makanya mereka maunya melakukan studi lagi, seismik lagi," kata Tunggal.

Padahal, berdasarkan hasil pengeboran satu sumur di blok East Natuna tersebut diproyeksi adanya minyak yang bisa diproduksi sebesar 7.000-15.000 BOPD. Selain itu Tunggal juga menyebut, anggota konsorsium ingin menunggu selesainya Technology Market Review oleh ExxonMobil pada 2017 terkait cadangan gas di blok tersebut sebelum menandatangani kontrak kerjasama.

Sementara pemerintah ingin penemuan cadangan minyak bisa dikerjakan terlebih dahulu. "Kalau ExxonMobil itu maunya semua itu jadi satu PSC. Pemerintah wacananya kalau ada minyak, bisa tidak dikembangkan dulu minyaknya. Kalau pakai gas, infrastrukturnya kan banyak, mahal, Co2 mau dibawa kemana, pasar gasnya kemana, itu kan masih banyak. Maka bisa tidak dikembangkan dulu struktur minyaknya paling tidak di sana ada kegiatan," imbuhnya.

Menurut Tunggal, pemerintah telah berkorban banyak jika kontrak kerjasama ditandatangani. Salah satunya dengan memperkecil bagi hasil pemerintah untuk minyak hanya sebesar 60% sementara kontraktor 40% dan bagi hasil pemerintah untuk gas sebesar 55% sementara kontraktor sebesar 45%. Dalam kondisi normal, bagi hasil minyak untuk pemerintah mencapai 85% dan gas sebesar 70%.

"Itu yang kami tawarkan berdasarkan permintaan mereka. Tapi kan mereka sendiri untuk menandatangani masih perlu waktu untuk kajian,ā€¯katanya.

Dengan begitu, Tunggal pun tidak bisa memastikan apakah penandatanganan kontrak kerjasama blok East Natuna bisa dilakukan pada tahun ini. Di sisi lain, Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam dan Erwin Maryoto, Vice President Public and Goverment Affairs ExxonMobil Indonesia hingga berita ini diturunkan belum memberikan tanggapan terkait batalnya penandatanganan kontrak kerjasama Blok East Natuna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×