Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Pemberlakukan verifikasi legalitas kayu di sejumlah negara tujuan ekspor kayu seharusnya tidak menjadi hambatan bagi ekspor produk berbahan kayu dari Indonesia. Apalagi, sejak 2009, Indonesia sudah menerapkan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).
Tapi kenyataannya tidak begitu. Menurut Ketua Umum DPP Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, SVLK yang diterapkan di Indonesia belum diakui oleh dunia internasional, sehingga ekspor produk kayu dari Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan.
Jika penerapan SVLK ini mendapat pengakuan secara internasional, kata Benny, ekspor produk berbahan kayu bisa ditingkatkan hingga 30%.
Menurutnya, harusnya tidak sulit mencapai peningkatan sebesar itu karena bahan baku kayu di Indonesia cukup melimpah. "Sayangnya, bahan baku kayunya melimpah tapi ekspor produk berbahan kayu tahun 2010 hanya US$ 2,9 miliar," kata Benny Selasa (8/3).
Nilai ekspor produk kayu ini terbilang kecil jika dibandingkan dengan komoditas lain, seperti tekstil yang bahan bakunya harus impor tapi nilai ekspornya menembus US$ 11,2 miliar di tahun 2010.
Benny mengatakan, Indonesia memiliki banyak keunggulan dibanding negara lain, karena kayu bisa diproduksi dalam 7 tahun. Sedangkan negara lain, seperti Norwegia dan Kanada butuh waktu lebih lama. Tetapi kinerja ekspor produk berbahan baku kayu Indonesia tidak begitu menggembirakan karena beberapa negara pengimpor, seperti Eropa, Amerika dan Jepang hanya menerima produk kayu yang legalitasnya terjamin.
Aturan di tiap negara juga berbeda. Di Eropa misalnya ada Timber Regulation, sementara di Amerika ada Lacey Act dan di Jepang Green Konyuho. Sementara Indonesia menerapkan SVLK untuk mencegah produk kayu ilegal. Sayangnya, belum semua negara pembeli mau mengakui sertifikasi SVLK.
Agar SVLK mendapat pengakuan internasional sehingga ekspor produk kayu bisa digenjot, imbuh Benny, GPEI berniat melakukan sosialisasi secara langsung kepada sejumlah negara tujuan ekspor. Di antaranya dengan menggelar forum diskusi dalam bentuk market dialogue.
Salah satunya akan dilakukan Kamis (10/3) ini yang akan melibatkan para duta besar (dubes) negara tujuan ekspor, seperti Dubes AS untuk Indonesia, Dubes Uni Eropa, Dubes Jepang, LSM dan pembeli dari luar negeri.
Robiyanto Koestomo, Ketua Bidang Pertanian, Kehutanan dan Pertambangan GPEI, mengatakan, pemberlakuan SVLK belum maksimal. Jumlah industri kayu yang bersertifikat SVLK masih terbatas karena terkendala biaya sertifikasi. Dari sekitar 600 perusahaan baru 50 yang mengajukan SVLK. "Biaya sertifikasi menjadi kendala karena 90% pelaku usaha ini berbentuk UKM," katanya.
Saat SVLK pertama kali digulirkan, pemerintah pernah menjanjikan akan menanggung biaya sertifikasi. Tapi dari 50 perusahaan yang mengajukan, hanya 8 yang dibiayai pemerintah karena keterbatasan dana.
Robiyanto menambahkan, biaya sertifikasi itu Rp 60 juta hingga Rp 80 juta, tergantung kapasitas setiap perusahaan. Lembaga yang memberikan sertifikat adalah Mutu Hijau Indonesia, Sucofindo, TUV, BRIK dan Mutu Agro Lestari.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan, biaya sertifikasi jangan sampai menjadi kendala. "Pasti bisa diatasi apalagi itu sifatnya mengikat," kata Hidayat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News