kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat menilai transaksi tol non-tunai berbasis MLFF akan memberatkan pengguna


Senin, 13 Juli 2020 / 22:45 WIB
Pengamat menilai transaksi tol non-tunai berbasis MLFF akan memberatkan pengguna
ILUSTRASI. Arus kendaraan terpantau padat di ruas jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Seksi E1 (Taman Mini-Cikunir)


Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berencana menerapkan teknologi transaksi pembayaran tol non-tunai tanpa sentuh (nir-sentuh) atau multi-lane free flow (MLFF). Sistem baru ini bertujuan mengurangi kepadatan di gardu pembayaran jalan tol.

Multi Lane Free Flow merupakan transaksi pembayaran tol yang dilakukan dalam kecepatan normal dengan menggunakan teknologi nirsentuh. Sehingga, kendaraan tak perlu berhenti untuk membayar tol.

Proyek ini cukup menarik. Sebab, populasi kendaraan di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan, jumlah mobil penumpang di Indonesia mencapai 16,44 juta unit. Dalam beberapa tahun mendatang, panjang jalan tol akan mencapai 6.000 km.

Baca Juga: Jasa Marga (JSMR) berminat ikut tender proyek pembayaran tol nontunai nir-sentuh MLFF

Berdasarkan dokumen yang diterima Kontan.co.id, tujuan dari proyek ini untuk menyediakan layanan pengumpulan tol dengan sistem yang mendukung berbagai solusi pengumpulan tol dalam satu platform tunggal.

Sistem ini juga akan dapat memberikan dukungan penegakan hukum yang efisien dengan secara bertahap membuat database dan registrasi yang diperlukan untuk kepastian hukum. Namun, sistem transaksi tol non-tunai nirsentuh dengan teknologi GNSS dinilai kurang cocok dengan kondisi di Indonesia dan bisa memberatkan pengguna jalan tol.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengungkapkan, sistem transaksi menggunakan GNNS akan membebani berbagai pihak terutama pengguna yang membeli alatnya.

"Nah yang sekarang dipakai yang mandiri/on board unit itu harganya satu juta-an saja orang enggak pada mau beli makanya itu saya bilang enggak bisa begitu, di negara Jepang, Malaysia saja sudah tinggal jalan itu pakainya RFID dulu sudah disetujui pakai RFID enggak tahu tiba-tiba muncul jadinya malah GNSS," ujar Agus saat dihubungi kontan.co.id, Senin (13/7).

Teknologi GNSS membuat alat pembaca tidak perlu di setiap tempat karena memakai satelit, berbeda dengan radio frequency identification atau RFID. GNSS memakai alat yang dipasang di dalam mobil. Ketika kendaraan berada di gardu jalan tol, alat itu akan terbaca melalui sistem di satelit.

"Tiba-tiba saya dikasih kabar kalau mau pakai GNSS, saya bilang ini apalagi karena alasannya katanya kalau pakai RFID suka lolos frekuensinya jadi GNSS lebih canggih karena pakai satelit. Persoalannya nanti ketika uang akan diterima oleh BUJT dan ada perusahaan lain ikut menabung nanti ini untuk jalan tol bermasalah tidak karena uang berpindah dan sebagainya," tekannya.

Baca Juga: Sistem transaksi tol non-tunai nirsentuh berbasis MLFF dinilai kurang cocok

Agus mengaku saat ini ia masih meneliti dan melakukan investigasi karena masih meragukan tender tersebut. "Saya maunya langsung waktu itu disepakati pakai RFID, tiba-tiba tahun lalu kok ganti GNSS, ini sedang saya cek ke BPJT dan PUPR belum selesai. Sebelumnya kan sudah disepakati untuk menggunakan sistem GNFI. Dicari saja RFID yang paling bagus kan macam-macam banyak jenisnya di negara-negara lain juga banyak yang pakai," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×