Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Undang-undang (UU) Cipta Kerja alias Omnibus Law terus memicu polemik. Kali ini sorotan ditujukan untuk pengaturan di klaster energi, khususnya ketenagalistrikan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, pengaturan penjualan kelebihan tenaga listrik (excess power) kontra produktif terhadap penyediaan dan investasi kelistrikan.
Pengaturan tersebut tertuang dalam pasal di UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Pasal 23 pada beleid tersebut diubah, sehingga berbunyi, (1) pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dapat menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum setelah mendapat persetujuan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Baca Juga: Ini kata Menaker soal anggapan UU Cipta Kerja beri karpet merah ke pekerja asing
Sedangkan ayat (2) Pasal 23 tersebut mengatur, penjualan kelebihan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal wilayah tersebut belum terjangkau oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa berpandangan, pasal ayat (2) tersebut bisa kontra produktif dan dapat berdampak, terutama bagi pemilik pembangkit dan wilayah usaha listrik seperti di kawasan industri. Menurutnya, frasa "dapat dilakukan dalam hal wilayah tersebut belum terjangkau oleh pemegang Perizinan Berusaha" memberikan pembatasan bagi penjualan excess power yang selama ini terbuka untuk dilakukan.
Sebab, dengan pengaturan tersebut, pemilik pembangkit yang excess power tak lagi berkesempatan untuk menjual kelebihan listriknya jika di wilayah tersebut jaringan dan sistem listrik PT PLN (Persero) sudah tersedia. "Ini perlu diklarifikasi. Kalau tidak, menyebabkan inefisiensi sistem penyediaan tenaga listrik dan investasinya," ujar Fabby saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (8/10).
Fabby memberikan gambaran, ada pelaku usaha di perkebunan kelapa sawit yang memiliki pembangkit 5 Megawatt (MW) lalu untuk kebutuhan perkebunan dan pabrik hanya sebesar 3 MW. Berarti, 2 MW sisanya bisa dijual ke masyarakat sekitar kebun sawit tersebut. Begitu juga untuk di kawasan industri. Semisal ada pemegang wilayah usaha yang memiliki pembangkit 500 MW, lalu yang terpakai hanya 300 MW. Seharusnya, 200 MW kelebihannya bisa dijual untuk kepentingan umum.
"Kalau kasus kayak begitu, sudah enggak boleh dengan Pasal 23 ini, karena wilayah itu sudah terjangkau oleh pemegang izin berusaha, dalam hal ini PLN," sebut Fabby.
Menurutnya, ada sejumlah alasan mengapa pengaturan tersebut kontra produktif terhadap sistem penyediaan dan investasi listrik. Pertama, pengaturan Pasal 23 ayat (2) di omnibus law tersebut membuat proses jual-beli excess power tidak lagi leluasa.
Padahal, excess power dari suatu wilayah usaha bisa saja dimanfaatkan oleh PLN di waktu tertentu untuk mengefisienkan sistem jaringan listriknya. Fabby mencontonhkan, suatu wilayah usaha listrik di kawasan industri memiliki excess power sebesar 300 MW dari pukul 18:00 sampai 12 malam. Kelebihan tenaga listrik tersebut semestinya terbuka untuk dijual ke PLN, sehingga BUMN listrik itu pun tidak perlu membangkitkan listrik sejumlah itu.
Dalam perspektif yang lebih luas, saat excess power yang dibeli PLN harganya lebih murah ketimbang harus membangkitkan sendiri, maka PLN pun tidak perlu berinvestasi pembangkit lagi di wilayah tersebut. "Kalau tidak perlu membangkitkan sendiri, artinya dia (PLN) tidak perlu investasi di pembangkit baru. PLN bisa mengoptimalkan pembangkit orang lain yang punya excess power," terang Fabby.
Alasan kedua, pengaturan ini bisa membuat investor enggan untuk membangun pembangkit listrik baru, khususnya di kawasan industri, yang wilayah sekitarnya sudah terjangkau listrik PLN. Fabby memberikan gambaran, misalnya di suatu kawasan industri secara hitungan bisnis, investor menilai lebih efektif untuk membangun pembangkit 500 MW.
Namun, kawasan industri tumbuh secara bertahap dan kapasitas listrik itu tidak mungkin langsung dipakai seluruhnya. "Kan yang dipakainya 50 MW, 100 MW dulu. Sepanjang waktu belum dipakai, kan punya excess power harusnya bisa dijual ke tempat lain. Dengan Pasal 23 ayat 2, itu enggak dimungkinkan," ujar Fabby.
Baca Juga: BPN: UU Cipta Kerja memungkinkan negara sediakan rumah rakyat gratis