Reporter: Filemon Agung | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Naiknya harga minyak dunia hingga level US$ 80 hingga US$ 90 per barel telah mendorong aktivitas pengeboran di sumur-sumur minyak tua semakin marak.
Masyarakat di sejumlah wilayah eks pengeboran mencoba peruntungan dengan melakukan penambangan di sumur-sumur migas yang sudah tidak ekonomis bagi korporasi tersebut.
Sayangnya praktik pengeboran di sumur-sumur minyak tua itu tidak diikuti kepatuhan dan tanggungjawab. Terutama terkait standar keamanan kerja dan perlindungan terhadap lingkungan.
Jika situasi ini terus berjalan dikhawatirkan akan menciptakan masalah sosial dan lingkungan di wilayah eks pengeboran minyak yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Baca Juga: Pertamina sudah setor Rp 2,7 triliun ke negara usai dua bulan kelola Blok Rotan
Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyampaikan, rata-rata sumur-sumur minyak tua yang ada saat ini sudah ditinggalkan oleh korporasi karena sudah tidak ekonomis. Selain cadangan yang menipis dan volume produksi yang terbatas, biaya pengelolaan sumur tua ditinggalkan itu sangat mahal.
“Sebenarnya sumur-sumur tua masih memiliki produksi, untuk menghindari adanya kegiatan-kegiatan masyarakat di sumur-sumur tua itu pemerintah harus membuat aturan yang kuat, agar potensi produksi migas di sumur tersebut bisa kembali ke negara,” terang Fahmy dalam keterangan resmi, Selasa (22/11).
Menurut Fahmy, untuk menekan angka maraknya kegiatan masyarakat di sekitaran sumur-sumur minyak tua itu, pemerintah harus membuat aturan yang kuat khususnya berkenaan dengan penyerahan sumur-sumur minyak tua setelah ditinggalkan oleh korporasi.
Atau, kata Fahmy, korporasi bisa menggandeng warga sekitar yang melakukan kegiatan untuk kembali mengembangkan sumur tersebut.