Reporter: Filemon Agung | Editor: Yudho Winarto
Dengan cara seperti itu, koporasi bisa mengawasi kegiatan pengeboran sumur minyak tua itu melalui kaidah pengeboran yang benar dengan teknologi yang terjamin sesuai dengan good mining practice.
“Aturan yang tegas sangat diperlukan, tapi pembuatan aturan juga harus didasari atas pendekatan kultur, sosiologi masyarakat sekitar. Karena ini menyangkut banyak pihak, keterlibatan Polri, TNI dan pemerintah menjadi sangat penting,” ungkap dia
Baca Juga: Sembilan bulan pertama, produksi migas Pertamina capai 866 MBOEPD
Mengacu data Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamaan (Kemenko Polhukam), kegiatan illegal drilling terus mengalami peningkatan per tahunnya, di tahun 2018 terdapat 137 kegiatan sumur ilegal dan terus meningkat pada 2019 menjadi 194.
Praktik ilegal itu terus mengalami pertumbuhan sampai dengan 2020 dengan total kasus sebanyak 314 kegiatan. Adapun terdapat 8 provinsi yang selama ini menjadi titik-titik utama kegiatan ilegal yaitu Aceh, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sejatinya, pemerintah sudah memiliki Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Sumur Tua.
Aturan itu bersinggungan dengan pengelolaan sumur migas oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun Koperasi Unit Desa (KUD). Menurut Komaidi, aturan itu sudah cukup kuat, hanya saja implementasi di lapangan tidak berjalan.
Pengamat Energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menambahkan, bahwa untuk menekan kegiatan ilegal di sumur minyak tua diperlukan payung hukum tertinggi yang bisa mengkoordinasikan antar lembaga dari pusat sampai ke daerah.
“Karena peraturan yang sifatnya teknis selama ini terbukti tidak berhasil. Di lapangan terjadi praktik penambangan yang tidak mengedepankan good minning practice. Makanya sering kita dengar dan lihat ada pipa kebakaran, sumur menyembur, risiko-risiko itu yang perlu diminimalkan,” ungkap dia.