kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengembangan PLTS di Indonesia terhambat sejumlah aturan


Rabu, 27 Februari 2019 / 22:01 WIB
Pengembangan PLTS di Indonesia terhambat sejumlah aturan


Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan minat pasar Indonesia terhadap pembangkit listrik ini cukup tinggi. Namun pengembangan listrik tenaga surya di Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia.

Hal itu disebabkan rangkaian kebijakan tentang listrik yang dinilai tidak mendukung penuh pengembangan teknologi ramah lingkungan tersebut.

Elrika Hamdi, peneliti Institutegy Economics and Financial Analysis (IEEFA) dan penulis kajian tersebut mengatakan, walaupun potensi tenaga surya melimpah di Indonesia, tetapi pemerintah terus menyusun kebijakan yang mendukung pengembangan listrik tenaga surya, khususnya bagi kebutuhan komersial dan hunian.

Dalam kajiannya, Elrika  menegaskan bahwa hanya 24 megawatt (mw) listrik tenaga surya, termasuk listrik tenaga surya atap, yang saat ini sudah dipasang dan dapat di salurkan melalui jaringan ketenagalistrikan di Indonesia. Pada saat yang bersamaan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai BUMN ketenagalistrikan.

“Terbebani oleh rencana ketenagalistrikan yang berbasiskan batubara yang sifatnya tidak fleksibel dan biaya tinggi dan ini memberikan tantangan berat bagi pengoperasian jaringan ketenagalistrikan Indonesia," sambungnya dalam keterangan yang diterima Kontan.co.id, Rabu (27/2).

Ia menuturkan, eraturan saat ini menyuliskan investor mendapatakan manfaat finansial yang diperoleh atas pemasangan sistem listrik tenaga surya atap (PLTS atap). Hal ini tak terlepas dari rancangan peraturan PLTS atap itu sendiri.

Selain itu, pengembangan PLTS yang terkoneksi jaringan juga jadi rintangan. Antara lain seperti ketentuan BOOT (Built, Operate, Own and Transfer) dimana kepemilikan proyek dialihkan kepada pihak PLN setelah masa kontrak selesai, terlepas dari nilai aset dan manfaat residual yang masih berjalan, jelas mengurangi tingkat keekonomian proyek listrik tenaga surya.

Kemudian, mengharuskan pengembang listrik tenaga surya menggunakan kandungan lokal khususnya panel tenaga surya yang masih mahal dengan kualitas yang lebih rendah ketimbang panel surya impor.

Ada juga aturan yang memaksa pengembang listrik tenaga surya untuk menerima harga yang di patok berdasarkan harga listrik baseload berbasis batubara yang selama ini telah mendapatkan manfaat dan subsidi dari negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×