kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.951.000   -8.000   -0,41%
  • USD/IDR 16.304   -11,00   -0,07%
  • IDX 7.533   43,20   0,58%
  • KOMPAS100 1.070   7,34   0,69%
  • LQ45 793   -2,68   -0,34%
  • ISSI 254   0,66   0,26%
  • IDX30 409   -1,29   -0,31%
  • IDXHIDIV20 467   -2,82   -0,60%
  • IDX80 120   -0,30   -0,25%
  • IDXV30 124   0,09   0,07%
  • IDXQ30 131   -0,56   -0,43%

Pengusaha Hotel dan Restoran Keluhkan Tarif Royalti Musik, Minta Regulasi Direvisi


Minggu, 10 Agustus 2025 / 18:27 WIB
Pengusaha Hotel dan Restoran Keluhkan Tarif Royalti Musik, Minta Regulasi Direvisi
ILUSTRASI. Pengusaha yang juga Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani di Jakarta (2/4/2025). 


Reporter: Leni Wandira | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik kewajiban membayar royalti lagu atau musik yang diputar di hotel, restoran, dan kafe kembali mencuat, meski sebagian musisi sudah memutuskan menggratiskan lagu mereka untuk tempat usaha. 

Bagi pelaku usaha, masalah utama justru terletak pada skema penarikan royalti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan turunannya.

President Director Sahid Hotels & Resorts sekaligus Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani, menilai aturan saat ini memberatkan dan perlu segera direvisi. 

"Tagihan royalti bahkan ada yang ditarik mundur sejak 2014, saat UU mulai berlaku. Ini sangat aneh dan memberatkan. Seharusnya yang ditagihkan hanya untuk periode berjalan,” ujarnya saat dikonfirmasi KONTAN, Minggu (10/8/2025).

PHRI juga menyoroti minimnya sosialisasi serta praktik penagihan yang kerap melibatkan aparat penegak hukum. Dari sisi tarif, penetapan yang dihitung berdasarkan jumlah kamar untuk hotel, jumlah kursi untuk restoran, atau luas area dinilai tidak relevan. 

Baca Juga: Pengusaha Minta Aturan Royalti Musik Direvisi, Cek Tarif Royalti Lagu Di Kafe & Resto

“Pendapatan usaha tidak konsisten, apalagi jika musik hanya digunakan sebagai latar belakang. Dengan konsep tarif seperti sekarang, lagu menjadi barang mahal di tempat usaha,” tegas Hariyadi.

Ia menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah dalam penyusunan tarif, bukan sekadar mengesahkan usulan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). PHRI juga meminta pencipta diberi hak untuk secara resmi membebaskan karyanya dari royalti tanpa diabaikan oleh LMK. 

“LMK bekerja harus berdasarkan mandat dari pencipta, dan mandat itu harus dapat dibuktikan,” jelasnya.

PHRI keberatan jika biaya operasional LMK atau LMKN diambil dari dana royalti yang dipungut. Menurut Hariyadi, biaya tersebut seharusnya berasal dari iuran anggota atau sumber sah lainnya. 

Ia juga menyoroti PP 56/2021 yang memberi kewenangan LMKN menarik royalti dari semua pengguna, termasuk yang memutar lagu ciptaan sendiri atau lagu bebas royalti. “Seharusnya hanya lagu dari pencipta yang menjadi anggota LMK saja yang dibayarkan,” katanya.

Baca Juga: Inilah Daftar Musisi Gratiskan Royalti Musik, Tapi Aturan Royalti Bukanlah Per Lagu

PHRI menilai pengertian “komersial” dalam PP 56/2021 perlu dipersempit hanya untuk usaha yang menjual lagu sebagai produk utama, seperti karaoke, diskotek, konser, atau pertunjukan musik. 

“Kalau hanya sebagai backsound, tidak perlu membayar royalti. Pemutaran lagu di tempat usaha justru membantu promosi karya pencipta,” ujar Hariyadi.

Soal pendistribusian dana, ia menekankan perlunya transparansi penuh dan audit akuntan publik. Royalti yang dibayarkan merupakan titipan dari masyarakat kepada pencipta, sehingga pemerintah wajib mengawasi pendistribusiannya dan memiliki perwakilan dalam kepengurusan LMKN.

PHRI juga menyoroti belum terealisasinya Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) sebagaimana amanat PP 56/2021. “Kalau sampai batas waktu tidak terwujud, aturan itu seharusnya batal demi hukum. Pemerintah harus konsisten,” tegasnya.

Baca Juga: Polemik Royalti Musik, Ini Kata Menteri Hukum, Cek Tarif Royalti Di Restoran Kafe

Terkait kabar penarikan tarif royalti yang dicantumkan terpisah dalam struk atau tagihan konsumen, PHRI mengaku belum menerima laporan. Namun, Hariyadi menilai praktik tersebut tidak tepat. 

"Tamu datang ke hotel untuk menginap, atau ke restoran untuk makan dan minum, bukan untuk mendengarkan lagu. Kalau ditampilkan di struk, pasti akan ada tamu yang protes,” ujarnya.

Hariyadi menegaskan urgensi revisi UU Hak Cipta agar kegaduhan terkait royalti tidak berlarut-larut. Menurutnya, masyarakat belum bisa percaya kepada LMKN, kerena pengurusnya tidak satupun ada perwakilan dari pemerintah.

"Pemerintah tidak boleh menyerahkan sepenuhnya urusan pemungutan kepada LMKN/LMK. Tanpa keterlibatan pemerintah, LMKN bisa menjadi lembaga superbodi yang hanya melihat kepentingan pencipta, tanpa mempertimbangkan kemampuan masyarakat,” pungkasnya.

Baca Juga: Mensesneg: Istana Akan Cari Jalan Keluar Polemik Royalti Musik di Kafe

Selanjutnya: Gugatan Alim Investindo Terhadap Bank Maspion Berakhir Damai

Menarik Dibaca: 9 Rekomendasi Jus yang Bagus Diminum saat Diet untuk Menurunkan Berat Badan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Executive Macro Mastery

[X]
×