Reporter: Fitri Nur Arifenie |
JAKARTA. Sejumlah pengusaha panas bumi (geothermal) menyatakan, harga listrik pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang telah ditetapkan pemerintah maksimal sebesar US$ 0,097 per KwH berpotensi menghambat investasi. Itu sebabnya, mereka meminta pemerintah mengkaji harga patokan itu.
"Harga itu sudah ideal, tapi (semestinya) ada pengecualian," ujar Wakil Direktur PT Star Energy Sanusi Satar, di sela-sela acara rapat dengan anggota Komisi VII DPR, Rabu malam (20/1). Ia menghitung, harga itu hanya ideal untuk beberapa daerah tertentu saja. Sedangkan untuk daerah yang sulit dijangkau (remote), harga itu belum memadai karena tidak sebanding dengan biaya pengembangan dan risiko.
Catatan saja, di Indonesia, total Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) panas bumi yang seharusnya bisa dikembangkan mencapai 256 wilayah kerja. Namun, yang sudah berproduksi baru 7 WKP dan 22 WKP lainnya sedang dalam proses pengembangan.
Masalahnya, Ucok Batubara, Senior Vice President Sumatera Operation Chevron Gheotermal, menilai, saat ini belum ada tender WKP yang profesional dan belum ada standar lelang. "Lelang awal untuk daerah-daerah baru yang telah dilaksanakan pada tahun 2008 belum ada yang mencapai tahap pengembangan," kata Ucok.
Soal lelang WKP tersebut, Chief Operating Officer Star Energy Rudy Suparman menambahkan, saat ini, belum ada perhitungan atau informasi detail tentang royalti atau pajak setiap WKP yang dilelang. "Akibatnya, pengembang tidak memiliki insentif untuk mengembangkan atau bahkan dapat terjadi pembatalan proyek," kata Rudy.
Ucok merekomendasikan beberapa hal dalam pengembangan energi panas bumi ini. Misalnya, ia menyarankan pemerintah membuat peraturan yang sinkron dan konsisten untuk memberi kepastian bagi investasi jangka panjang. Pelaksanaan proses tender juga harus transparan.
"Kami juga meminta pemerintah menghindari penerapan kebijakan baru yang menyebabkan ketidakpastian. Misalnya, masalah kredit karbon dan rencana perubahan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tentang Panas Bumi," tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News