Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
Perjanjian ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) mulai menebar ancaman bagi industri di Tanah Air. Salah satunya industri pengolahan susu (IPS). Sebab, dengan adanya perjanjian tersebut, tarif bea masuk (BM) produk susu antarnegara Asean dan China menjadi 0%.
Fasilitas ACFTA itu dipastikan akan membuat produsen susu asing berbondong-bondong masuk ke pasaran dalam negeri. Selain karena fasilitas bea masuk 0%, kondisi itu juga dipicu masih rendahnya kapasitas produksi susu di Indonesia.
Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana mencatat, produksi susu nasional hanya sebesar 1,4 juta lter per hari. Padahal, kebutuhan susu nasional telah mencapai 4 juta hingga 6 juta liter per hari. "Ini artinya, produksi susu lokal hanya bisa memenuhi 25% kebutuhan konsumsi. Sisanya masih dipenuhi dari pasokan impor," kata Teguh.
Persoalannya, masuknya susu impor itu akan mengancam keberadaan IPS. Dengan fasiltas ACFTA tadi, produsen susu asing bisa menjual produk susunya lebih murah dibandingkan susu lokal. Ini karena produsen susu olahan masih dikenakan pajak impor bahan baku, seperti PPn 10%, PPh 2%, dan pengenaan BM sebesar 5%-10%.
Produsen susu olahan terpaksa harus mengimpor bahan baku susu. Hal ini disebabkan masih buruknya kualitas susu di tingkat peternak sapi perah. Sehingga, industri susu dalam negeri sulit menggunakan susu lokal sebagai bahan baku pembuatan susu olahan. Hampir 70% bahan baku industri susu dalam negeri seperti whey protein concentrate, lactose, skim milk powder, butter milk powder, masih harus diimpor.
Celakanya, harga susu di pasaran dunia, belakangan ini terus melambung. April lalu, harga susu bubuk di pasar dunia naik ke level tertinggi dalam 21 bulan terakhir. Hal ini dipicu oleh tingginya permintaan. Sementara suplai cenderung menyusut akibat kekeringan yang berkepanjangan di New Zealand, eksportir susu terbesar di dunia.
Fonterra Cooperative Group Ltd, eksportir susu terbesar dunia asal New Zealand, mengumumkan, pengiriman susu bubuk untuk bulan Juni 2010 naik 24% menjadi US$ 4.092 per metrik ton. Nilai ini mendekati rekor tertingginya sejak Juli 2008.
Sebelumnya, harga pengiriman susu bubuk dari Juli hingga September 2009 naik 22% menjadi US$ 4.061 per ton. Sementara pengiriman susu untuk periode Oktober hingga Desember naik 18% menjadi US$ 3.773 per ton. Naiknya harga susu bubuk dunia itu kerap menjadi acuan melonjaknya harga bahan baku susu.
Itu artinya, harga jual susu produk IPS bukan mustahil ikut terdongkrak. Ujung-ujungnya harga jual produk susu tidak terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Padahal, susu merupakan salah satu sumber gizi bagi masyarakat.
Paska pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan dan dapat dilanjutkan sampai usia 24 bulan (berdasarkan Kode WHO), anak-anak di Indonesia memerlukan susu sebagai tambahan asupan gizi untuk pertumbuhan.
Saat ini konsumsi minum susu orang Indonesia per kapita per tahun merupakan yang terendah di Asia, yaitu hanya mencapai 9 liter per tahun per kapita dibandingkan dengan Vietnam yang 10,7 liter per tahun per kapita dan Malaysia 25,4 liter per tahun per kapita. Jangan heran jika kondisi gizi anak-anak Indonesia juga buruk.
Syahlan Siregar, Direktur Eksekutif IPS, mengatakan, untuk mencapai pemenuhan gizi masyarakat, dibutuhkan keberpihakan pemerintah. "Salah satunya dengan menghapus BM bahan baku susu olahan sebesar 5%-10% tadi," katanya. Apalagi, lanjut dia, Pemerintah memiliki peraturan yang bisa mendukung keberpihakan tersebut.
Yakni, keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.07/PMK.011/2010 tahun 2010 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) Atas Impor Barang dan Bahan Untuk Memproduksi Barang Dan/Atau Jasa Guna Kepentingan Umum Dan Peningkatan Daya Saing Industri Sektor Tertentu Untuk Tahun Anggaran 2010.
Usulan agar BM untuk bahan baku pengolahan susu dapat dipertimbangkan masuk ke dalam daftar BMDTP 2010, sudah diajukan oleh kalangan stakeholder di industri susu olahan ke Kementerian Perindustrian. Namun, sampai saat ini pemerintah tetap bergeming.
Disinyalir, Kementerian Perindustrian tidak berani menghadapi protes para peternak sapi perah lokal. Sebab, jika usulan itu disetujui, peternak sapi khawatir susu segarnya tidak terserap oleh IPS lokal sebagai bahan baku. Padahal, bahan baku susu yang diimpor IPS, spesifikasinya berbeda dan tidak tersedia di petani susu lokal.
Syahlan berharap pemerintah mau mempertimbangkan usulan BMDTP yang diajukan industri susu lokal. "Seharusnya pemerintah berpihak pada industri susu lokal. "Kebijakan pemerintah harus mendukung semua pelaku usaha di industri persususan nasional. Ini demi keberlangsungan hidup petani susu dan industri pengolahan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News