Reporter: Yudo Widiyanto | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Pengusaha meminta pemerintah mengubah dasar penetapan upah minimum regional (UMR) yang tertuang dalam UU 13/2003 Ketenagakerjaan. Pengusaha berharap UMR bukan berdasarkan kebutuhan hidup, namun berdasarkan produktivitas.
Tuntutan ini disampaikan pengusaha di sela-sela perayaan Hari Buruh Sedunia, kemarin. "Saat ini sistem upah buruh hanya berdasarkan persepsi kelayakan," ungkap Franky Sibarani, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Minggu (1/5).
Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, dasar perhitungan UMR adalah standar kelayakan di suatu daerah. Pemerintah daerah menetapkan berdasarkan faktor lahan pangan, biaya distribusi, gaya hidup, serta tingkat pendidikan. Hitung-hitungan inilah yang menjadi dasar kewajiban pengusaha memberikan upah buruh.
Namun menurut Franky, cara itu ada kelemahannya, karena membuat daya saing buruh menjadi lemah. Para buruh tidak terpacu untuk meningkatkan prestasi kerja. Belum tentu upah tinggi produktivitas meningkat. "Semestinya UMR dihitung berdasarkan sistem produktivitas, seberapa besar kontribusi buruh," katanya.
Kalau ukurannya produktivitas, upah pekerja dalam satu daerah semestinya bervariasi berdasarkan tingkat produktivitasnya. Misalnya, pekerja nantinya akan menerima gaji pokok, tunjangan-tunjangan serta kontribusi produktivitas yang dihitung berdasarkan nilai tambah dibagi dengan jumlah pekerja.
Djimanto, Penasihat Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), menuturkan, saat ini Indonesia minim tenaga kerja yang andal, sehingga semestinya upah buruh lebih jelas dan menyesuaikan dengan kemampuan pekerja. Selain itu menurut Djimanto UMR yang ditetapkan pemerintah daerah lebih banyak didominasi kepentingan politik. "Penentuan upah buruh di daerah sekadar meraih dukungan politik," ungkapnya.
Franky menambahkan biaya ekonomi yang tinggi menyebabkan kontribusi industri kepada buruh rendah. Franky memberi contoh, biaya transportasi mencapai 10%-11%. Biaya ini lebih banyak didominasi oleh pungutan liar di jalan dan di pelabuhan. "Padahal biaya tersebut bisa dimanfaatkan untuk efisiensi dan kontribusi untuk biaya tenaga kerja," ungkapnya.
Djimanto juga menuding bunga kredit perbankan yang masih tinggi ikut mengancam industri. "Di negara lain tidak begitu tinggi, ini menyulitkan pengusaha," ungkapnya.
Ade Sudrajad, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan, peranan serikat buruh juga harus lebih ditingkatkan, terutama di bidang ketenagakerjaan. "Jadi, peran aktifnya bukan hanya berdemo," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News