Reporter: Elisabet Lisa Listiani Putri, Syifa Fauziah | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Tak banyak yang tahu, aktivitas Terminal III Tanjung Priok, Jakarta sempat lumpuh pada Sabtu (30/7). Pengusaha pengguna jasa pelabuhan tersebut pun sempat gundah dan kalang kabut. Sebab, gangguan yang terjadi di Terminal III Tanjung Priok ini bisa merugikan pengusaha.
Carmelita Hartoto, Ketua Umum Indonesian National Shipowner's Association (INSA) menyatakan, kepadatan arus peti kemas yang terjadi Terminal 3 Tanjung Priok tersebut terjadi karena adanya persaingan usaha. Adanya perbedaan tarif penanganan peti kemas yang lebih murah di Terminal 3 Tanjung Priok yang menjadi pemicunya.
Karena tarif lebih murah, alhasil Terminal III Tanjung Priok diserbu oleh perusahaan yang ingin menaruh peti kemasnya. "Untuk itu, kami berharap pengelola peti kemas meningkatkan pelayanan, bukan hanya memberikan tarif yang lebih murah saja, tapi juga memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan memuaskan," kata Carmelita Hartoto saat dihubungi KONTAN, Minggu (31/7).
Asal tahu saja, dalam bisnis pengelolaan peti kemas, Terminal III Tanjung Priok berkompetisi dengan Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, dan
PT Mustika Alam Lestari.
Menurut Carmelita, tarif Terminal Handling Charges (THC) di JICT, TPK Koja, dan Mustika Alam dipatok US$ 95 per peti kemas dengan ukuran 20 feet. Dalam tarif tersebut, pemilik kapal menikmati surcharges US$ 12 per boks, sementara, pengelola terminal peti kemas memperoleh US$ 83 per peti kemas sebagai biaya Container Handling Charges (CHC).
Berbeda dengan perincian tarif THC di Terminal 3 Tanjung Priok. Dari tarif US$ 95 per kontainer, pengelola terminal mengenakan CHC sebesar US$ 73 per peti kemas dan sebesar US$ 22 per peti kemas merupakan surcharges kepada pemilik pelayaran. Carmelita menilai, perbedaan tarif tersebut menandakan tarif THC sejatinya bisa diturunkan oleh pengelola peti kemas di pelabuhan.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI). Achmad Ridwan Tento, Sekretaris Jenderal GINSI menyatakan, kepadatan arus barang di Terminal III yang terjadi beberapa waktu lalu telah merugikan mereka.
Dampak domino
Menurut Achmad, penyebab kepadatan yang terjadi di Terminal III tersebut karena banyaknya arus peti kemas yang menuju Terminal 3 ketimbang terminal JICT atau TPK Koja. Tingginya arus peti kemas yang menuju Terminal III tersebut berujung pada penumpukan. "Alhasil kami merasa kesulitan, karena pengiriman satu hari menjadi dua hari," kata Achmad kepada KONTAN, Minggu (31/7).
Seharusnya, kata Achmad, ada pengaturan trafik sehingga Terminal III milik PT Pelabuhan Tanjung Priok tidak mengalami kepadatan seperti yang terjadi Sabtu (30/7). Ia bilang, kepadatan yang terjadi di pelabuhan tersebut menimbulkan efek domino bagi masyarakat, pengguna jasa logistik serta pengusaha pemilik barang. Contoh, biaya pengiriman yang semula diprediksi satu hari, akhirnya membengkak menjadi dua hari.
Sementara itu, manajemen PT Pelabuhan Tanjung Priok menyatakan, masalah yang terjadi Terminal III merupakan siklus yang biasa terjadi di jam-jam padat.
Rima Novianti, Direktur Komersial PT Pelabuhan Tanjung Priok menjelaskan, antrean truk memang terjadi di jam-jam tertentu. Namun begitu, Rima berjanji akan melakukan pengaturan agar arus peti kemas bisa berjalan dengan lancar. "Kami akan mengatur antrean truk yang masuk ke Terminal III," tandas Rima kepada KONTAN, Minggu (31/7).
Namun demikian, Rima tak setuju jika ada yang menyebut kepadatan tersebut sebagai kongesti atau banyaknya penumpukan barang tertimbun di suatu tempat. Alasannya adalah, kejadian tersebut hanya terjadi di hari-hari tertentu, bukan sepanjang hari.
Rima menambahkan, saat ini kendala yang dialami Terminal III adalah, kebutuhan buffer area untuk mengurangi kepadatan truk. Namun buffer area sulit terealisasi karena lahan terbatas. Maka itu, Rima berharap, pengembangan terminal New Priok bisa terlaksana. Adanya New Priok akan menambah lahan penumpukan peti kemas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News