Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
JAKARTA. Perang tarif telekomunikasi terus terjadi. Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, mengatakan, banting-bantingan harga ini akibat lemahnya pengawasan regulator telekomunikasi dan pengawas persaingan usaha. Sudah menjadi tugas Kementerian Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) melakukan pengawasan terhadap tarif promosi operator telekomunikasi. Bukan malah melakukan pembiaran terhadap promo tarif murah operator.
Alamsyah juga mengkritisi lambannya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merespons perang harga. Operator telekomunikasi yang melakukan promo berulang-ulang dan menjual produk di bawah harga produksi, seharusnya bisa menjadi indikasiuntuk menyelidikipelanggaran persaingan usaha tidak sehat. Pemberian tarif promo yang dilakukan operator telekomunikasi sudah mengarah ke predatory pricing. “Pembiaran yang dilakukan oleh KPPU itu yang menurut Ombudsman adalah mal administrasi,” terang Alamsyah, dalam pernyataan tertulis, kemarin.
Leonardo Henry Gavaza, analis saham Bahana Securities, menyayangkan maraknya perang harga. Padahal industri padat modal ini belum pulih dari aksi perang harga yang dilakukan oleh operator telekomunikasi di tahun 2008 yang lalu. Menurutnya, jika XL dan Indosat terus melakukan perang harga, profitabilitas mereka bisa terpuruk. “Jika Telkomsel terpancing menurunkan tarif, kemungkinan Indosat dan XL bisa mati. Jika Indosat dan XL mati, dominasi Telkomsel akan semakin kuat lagi. Ujungnya industri telekomunikasi nasional yang terpuruk,”papar Leo.
Memang dalam jangka pendek perang harga seolah-olah menguntungkan konsumen. Konsumen akan mendapatkan tarif yang murah. “Namun jangka panjang akan merusak industri telekomunikasi. Industri telekomunikasi yang tahun lalu bisa tumbuh 10% kemungkinan tahun ini tak akan tercapai. Bahkan bisa mengalami minus,“ ujar Leo.
Kahlil Rowter,Kepala Ekonom Danareksa Sekuritas, mengatakan, jika operator telekomunikasi kerap menjual layanan dengan harga promosi, bisa mengakibatkan perusahaan tersebut kesulitan mengembangkan dan menjaga kualitas layanan yang mereka berikan. "Dipastikan kemampuan penyelenggara jasa telpon tersebut akan tergangu. Mereka tak akan lagi mampu untuk membangun, mengembangkan jaringan dan menjaga kualitas layanan," sebutnya.
Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menilai, saat ini persaingan tarif antaroperator telekomunikasi di Indonesia sudah sangat liar. "Meski mereka bersaing, disayangkan para operator tidak berkompetisi dalam menjaga coverage dan service level," tegas Tulus. Menurutnya, tugas BRTI melakukan pengawasan terhadap coverage dan service level. "Seharusnya regulator bisa memaksa agar operator telekomunikasi yang belum hadir di daerah terpencil, terluar dan dan terdepan. Diharapkan dengan kehadiran lebih dari satu operator, masyrakat memiliki pilihan, “ terang Tulus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News