Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Prabowo-Gibran harus mempercepat pembangunan infrastruktur gas bumi untuk mencapai target Swasembada Energi, sesuai dengan Asta Cita poin kedua.
Langkah ini penting untuk menghindari ancaman Indonesia menjadi net importer gas alam pada tahun 2030 dan 2040, seperti yang diprediksi dalam studi Asean Center for Energy (ACE).
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menekankan bahwa pemerintah harus segera membangun infrastruktur penyaluran gas bumi untuk mengoptimalkan cadangan gas domestik.
Baca Juga: Swasembada Energi Memacu Emiten EBT
"Jika gagal mengoptimalkan gas bumi dalam negeri, meskipun ada cadangan besar, risikonya adalah kita akan impor," jelas Moshe dalam keterangannya, Jumat (25/10).
Moshe menegaskan bahwa infrastruktur gas bumi merupakan kunci dalam meningkatkan penggunaan gas domestik, baik oleh industri, rumah tangga, maupun transportasi.
Kehadiran infrastruktur akan mendorong permintaan gas bumi yang lebih luas, sehingga memacu proses eksplorasi dan eksploitasi sumber gas baru.
Namun, ia mengungkapkan tantangan dalam menarik investor, mengingat keekonomian proyek gas bumi sering kali kecil. Salah satu contoh adalah proyek pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem) yang sempat tertunda selama 18 tahun sebelum akhirnya dilanjutkan dengan pendanaan dari APBN.
Moshe menekankan, proyek yang tidak menarik bagi investor, tetapi mendesak, harus dibiayai oleh pemerintah melalui APBN.
"Pemerintah harus mengambil peran dalam menyelesaikan masalah secara permanen, bukan hanya melalui subsidi jangka pendek," tambahnya.
Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham dan Peluang Emiten EBT di Tengah Rencana Swasembada Energi
Selain infrastruktur, pemerintah juga perlu meningkatkan daya tarik investasi di sektor gas bumi. Namun, tantangan terbesar adalah skema subsidi seperti Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang membatasi harga gas bumi di USD6 per MMBTU, jauh di bawah harga pasar. Subsidi ini mengurangi keekonomian proyek, sehingga investasi menjadi kurang menarik.
Menurut Moshe, subsidi yang mencapai Rp57,65 triliun pada semester 1 2023 dapat dialihkan untuk membangun infrastruktur gas bumi.
"Subsidi perlu dikurangi secara bertahap agar dana tersebut bisa digunakan untuk infrastruktur yang akan menurunkan biaya logistik gas dalam jangka panjang," tegasnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga sepakat bahwa optimalisasi gas bumi adalah langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan energi impor dan menghadapi risiko geopolitik serta dinamika ekonomi global.
Baca Juga: Swasembada Energi, Pertamina Kembangkan 4 Terobosan Teknologi Rendah Karbon
"Tanpa kemandirian energi, ekonomi kita rentan terhadap gangguan eksternal," ujarnya.
Josua menambahkan, dengan tingginya permintaan gas bumi dari industri manufaktur dan rumah tangga, pasar gas bumi memiliki potensi besar.
Pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif untuk mendorong pengembangan infrastruktur distribusi gas bumi, guna memperkuat ketahanan energi Indonesia di masa depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News